Sunday, April 24, 2011

Revolusi itu Dibelokkan!

Tadi pagi, saya menonton sebuah acara di @metroTV. Acara tersebut membahas mengenai kisruh PSSI yang saat ini masih berlanjut dan menurut pendapat saya malah semakin runyam. Dalam acara tersebut, mendatangkan empat narasumber, diantaranya adalah Sutiyoso, Adyaksa Dault, Anton Sanjoyo dan satu lagi adalah Diza (saya kurang ingat nama lengkapnya). Ke empat narasumber tersebut dimintai pendapatnya mengenai kisruh yang saat ini terjadi, dimana kelompok suara 78 (pemilik suara yang mengklaim memiliki suara sah) tetap ngotot mengusulkan nama Arifin Panigoro (AP) dan George Toisutta (GT) sebagai bakal calon ketua PSSI. Padahal sebelumnya ketua komite normalisasi PSSI yang diketuai oleh mantan ketua PSSI, Agum Gumelar, telah menyampaikan hasil pertemuannya dengan pihak FIFA dimana telah ditetapkan bahwa keputusan komisi banding PSSI yang sebelumnya telah ditetapkan adalah keputusan final. Dengan demikian otomatis nama AP dan GT tidak boleh maju lagi dalam pemilihan Ketum PSSI. Akan tetapi kelompok ini tetap saja bersikeras mengusung kedua nama tersebut.
Kembali pada perbincangan dalam acara yang pagi tadi saya tonton. Pada dasarnya ke empat orang tersebut sepakat bahwa sudah saatnya revolusi yang terjadi dibiarkan mengalir tanpa adanya kepentingan politik didalamnya. Keberhasilan menurunkan Nurdin Halid hanya sebuah pintu masuk untuk merevolusi PSSI, karena sebenarnya PSSI bukan hanya Nurdin Halid dan Nugraha Besoes (yang akhirnya ikut mengundurkan diri), akan tetapi juga pengprov maupun pengcab yang ada di seluruh Indonesia. Memang sebelumnya mereka yang tergabung dalam KPPN telah membulatkan tekat bahwa sepak bola melalui PSSI harus segera di Revolusi. Perjuangan awal mereka saat ini telah berhasil, dengan menggulingkan NH dan NB, akan tetapi dari sini muncul lagi masalah baru. Mereka yang sempat menggunakan nama FIFA untuk menjegal NH, kali ini justru menolak mentah-mentah mandate FIFA melalui komite normalisasi PSSI yang menolak GT dan AT untuk maju lagi dalam pemilihan ketua PSSI. Kalau sudah seperti ini, namanya bukan lagi revolusi, lagai-lagi politisasi kembali terjadi disini.
Menanggapi hal ini, Adyaksa Dault sempat menyampaikan pernyataan keras terhadap ketua KPPN, Syahral Damopoli, bahwa dia tidak segan-segan mengambil jalur hukum dengan menuntutnya apabila PSSI di banned oleh FIFA dan Tim Nasional Indonesia mendapat larangan untuk tampil di ajang Sea Games dimana kita menjadi tuan rumahnya. Sutiyoso, yang kali ini juga dicalonkan menjadi Ketum PSSI dari Pengprov Jakarta, juga menyampaikan hal serupa. Sudah saatnya KPPN berpihak kepada kepada seluruh pecinta sepak bola nasional. Kepentingan golongan mereka harus ditinggalkan, hati nurani dan niat tulus untuk memperbaiki sepak bola nasional harus dijadikan dasar perjuangan ini. Narasumber lain, Diza, menganjurkan opsi lain untuk menyelesaikan kisruh ini. Sebaiknya, KPPN mengirimkan wakilnya untuk segera berkoordinasi langsung dengan FIFA mengenai keputusannya menolak GT dan AP yang telah dilarang untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilihan Ketum PSSI. Opsi ini mungkin merupakan salah satu opsi yang paling tepat, karena hingga kini KPPN mengatakan bahwa FIFA belum mengeluarkan pernyataan resmi terhadap penolakan terhadap GT dan AP.
Pernyataan paling menarik datang dari Anton Sanjoyo. Dia menyampaikan bahwa siapapun ketua PSSI yang nantinya akan terpilih, dia harus merubah sistem kelembagaan beserta dengan peraturan-peraturan dasar organisasinya. Dia menyatakan, saat ini banyak terdapat pimpinan PSSI di tingkat pengprov dan pengcab adalah seorang birokrat. Para pimpinan ini jarang sekali bekerja secara professional, apakah itu mengadakan kompetisi sepak bola lokal, kompetisi lokal ataupun bahkan mengadakan program pembinaan sepakbola usia dini. Mereka terlalu sibuk untuk berpolitik mempertahankan kekuasaannya di daerah dan tidak melakukan apa-apa untuk sepak bola. Lebih parahnya lagi, dengan keadaan yang seperti ini justru merekalah yang memiliki suara di PSSI. Suatu ironi bukan? untuk itu kedepannya PSSI harus melakukan perubahan. Seluruh pengurus sudah seharusnya berada di luar lingkaran politik. Kita mungkin bisa berkiblat kepada negara Amerika Serikat terkait dengan bidang olahraga. Di negara tersebut tidak terdapat Kementrian Olah Raga. Mereka berasumsi bahwa sudah menjadi keharusan untuk menjauhkan olah raga dari politik.
Saya jadi bertanya-tanya apa motif kengototan kelompok 78 untuk mempertahankan nama GT dan AP. Apa masalah money politic? Apakah masalah intervensi militer? Yang pasti saat ini revolusi yang sebenarnya telah diawali dengan baik dengan mengambil jalan lurus, kembali dibelokkan oleh ulah kelompok 78. Apabila mereka menginginkan revolusi PSSI dengan dasar keputusan dan peraturan FIFA sebagai acuannya, seharusnya mereka tidak perlu ngotot lagi. Masih banyak alternative lain yang memiliki visi dan misi yang lebih baik dan segar bagi sepak bola nasional. Masih banyak alternative lain yang jauh lebih professional, dalam artian tidak terikat dengan perpolitikan nasional.
Saat ini saya hanya bisa berharap, semoga para pemilik suara ini pada akhirnya sadar dan patuh terhadap apa yang menjadi keputusan FIFA. Semoga mereka kembali lagi ke jalur lurus dalam perjuangannya merevolusi PSSI. Semoga
Wassalam
@bayu_bepe

No comments:

Post a Comment