Tuesday, April 24, 2012

Tugiyo, Gol Tunggal “Maradona” Membawa Mahesa Jenar Raih Juara

Atas saran Dokter, Tugiyo disarankan untuk opname di sebuah rumah sakit di Singapura karena penyakit yang dideritanya cukup parah. Sesampainya di rumah sakit, Tugiyo dibawa ke kamar dan segera di infus. Beberapa jam kemudian, datang seorang bule yang keliatannya sakit parah dan dibaringkan di sebelah Tugiyo. Si bule walaupun kelihatannya lemah, dia masih mencoba berkomunikasi dengan Tugiyo.
Dia mengangkat tangannya dengan susah payah dan bilang, “American…”
Tugiyo yang dengan lemah, menjawab, “Indonesian..”
Setelah itu keduanya diam.
Beberapa menit kemudian mereka siuman dan mencoba berkomunikasi lagi..
Si bule berkata dengan lemas, “James..”
Dan dijawab dengan susah payah oleh Tugiyo, “Tugiyo..”
Mereka mencoba lagi melanjutkan pembicaraan,,
“Texas..” ujar si bule
Dijawab Tugiyo, “Purwodadi..”
Si bule yang udah hampir kehabisan napas berkata, “Cancer..” (sakit kanker)
Dan dengan sisa-sisa napas yang ada Tugiyo menyahut, “Sagitarius..”

Tugiyo ketika beraksi membela PSIS
Sebelumnya saya minta maaf, tulisan diatas hanya intermezzo saja. Ketika sedang browsing untuk mencari informasi mengenai Tugiyo, eks bintang PSIS Semarang, saya menemukan artikel humor tersebut. Dan jujur saja, kalau saya mengingat seorang Tugiyo, yang terlintas di pikiran saya hanyalah sosok orang yang lucu. Lucu dalam artian perawakannya kecil, agak bantet dan dengan tekstur muka yang mungkin akan lebih cocok apabila jadi pelawak. Ini benar-benar jujur, no offense.

 Terlepas dari fisiknya yang saya anggap lucu, akan berbeda ceritanya apabila kita membahas kemampuannya bermain sepak bola. Walaupun secara fisik dia termasuk penyerang dengan postur yang kecil, akan tetapi skill dan kecepatan dalam bermain sepak bola yang sangat mumpuni kemudian menjadikan dia mendapat julukan sebagai Maradona. Seorang legenda sepak bola dunia asal Argentina yang memiliki perawakan postur yang sama dengan Tugiyo.   

Dialah pencetak gol tunggal PSIS di final Liga Indonesia V pada tahun 1999 saat mengalahkan Persebaya, di Stadion Klabat, Manado. Masih teringat di benak saya, ketika itu saya menyaksikan pertandingan tersebut memalui layar televisi. Kala itu, pertandingan disiarkan langsung oleh TVRI. Secara komposisi tim, keduanya berimbang. Akan tetapi Persebaya yang kala itu ditangani oleh pelatih Rusdy Bahlawan sedikit lebih mentereng dengan beberapa nama besar pemainnya macam Hendro Kartiko, Aji Santoso, Anang Maruf, Bejo Sugiantoro, Yoseph Lewono, Chairil Anwar, Alm. Eri Irianto, Yusuf Ekodono, Uston Nawawi, Musa Kallon dan juga Reinald Pieters. 

Sedangkan materi pemain PSIS yang dilatih oleh Edy Paryono diisi oleh nama-nama macam I Komang Putra, Agung Setiabudi, Wasis Purwoko, Simon Atangana, Ebanda Timothy, Bonggo Pribadi, Ali Sunan, Ali Saha Ali dan juga Tugiyo. Kala itu pertadingan dipimpin oleh wasti Djajat Sudrajat dan disaksikan sekitar 30.000 penonton. Pertandingan berlangsung seru dan berimbang. Penentuan gelar juara harus menunggu hingga menit-menit akhir. Tepatnya pada menit ke-89 dengan kecepatan, ketenangan dan akurasi tendangannya, Tugiyo berhasil membobol gawang Hendro Kartiko.

Dengan gol tunggalnya yang berhasil mengantarkan tim Mahesa Jenar menjadi juara kala itu, otomatis Tugiyo dielu-elukan bak pahlawan di usianya yang kala itu baru menginjak 22 tahun. Hidup Tugiyo, yang seorang anak penarik becak, memang berubah sejak ia kenal sepak bola dan terlebih setelah membawa kesebelasannya menjuarai Liga Indonesia V. Selain undangan makan, hadiah mengalir deras untuknya, mulai dari kapling tanah, sepeda motor, dan uang. Rumah gedeknya yang ditinggali ibunya kini sudah menjelma jadi gedung bergaya Spanyol. Walau sudah kaya dan punya deposito puluhan juta, "Maradona dari Purwodadi" ini mengaku tak ingin mengubah gaya hidupnya. Untuk bepergian, ia cukup puas naik sepeda motor dan tak ingin membeli mobil. Tugiyo juga mengaku belum mikirin cewek, walau banyak yang naksir. Soal handphone? "Oh, ini untuk menelepon ibu saya kalau di lapangan," kata Tugiyo, yang selalu minta doa ke ibunda setiap akan bertanding.[1]
 
Gol di pertandingan final Ligina V tersebut merupakan pencapaian puncaknya sepanjang berlangsungnya Ligina musim itu. Tugiyo mengawali karirnya sebagai pemain dari kampung kelahirannya di Purwodadi. Kemudian ia masuk diklat Salatiga dan Ragunan. Pernah bermain pula di PSSI U-16, di Iran. Keluar dari diklat Ragunan, Tugiyo mencoba peruntungannya dengan bermain untuk klub PSB Bogor selama dua musim. Pada tahun 1997, Tugiyo sempat ditolak untuk tergabung dalam program PSSI Baretti yang dikirim ke Italia. Alasan utama penolakan dari PSSI adalah karena postur Tugiyo yang pendek. Akan tetapi, selang dua tahun kemudian dia membuktikan bahwa keputusan PSSI tersebut salah besar. 
 
Pada tahun 1999 dia bergabung dengan klub PSIS Semarang. Dalam gelaran Ligina musim 1999, dia bermain apik sepanjang musim dan puncaknya adalah gol tunggalnya di partai final. Total Tugiyo merumput selama lima musim bersama PSIS. Pada tahun 2008 lalu, Tugiyo sempat mencoba lagi peruntungannya dengan mengikuti seleksi pemain PSIS untuk musim 2008-2009, akan tetapi usahanya gagal. Kemampuannya sudah banyak berkurang dikarenakan cidera lutut berkepanjangan yang sempat dia alami. Cidera tersebut dia dapatkan ketika memenuhi panggilan pelatnas untuk persiapan piala Asia tahun 2000 yang kala itu dilatih oleh Nandar Iskandar.

Lantas bagaimana kabarnya saat ini? Dari informasi yang saya dapatkan, Ia meniti karir sebagai pelatih tim sepakbola Kecamatan Bawang dan tim U-20 Kabupaten Batang sejak 23 Juni 2009. Saat ini pula, Tugiyo telah mengantongi lisensi kepelatihan seri C yang dia dapatkan dari kursus pelatih di Magelang pada September 2009 lalu. Sebenarnya, dia masih berhasrat untuk bermain sepak bola, akan tetapi kebanyakan tawaran yang datang kala itu berasal dari klub luar Jawa. Faktor keluarga yang pada akhirnya menjadikan dia mengurungkan niat untuk kembali bermain sepak bola. Melatih tim Kecamatan Bawang merupakan kebanggaan tersendiri, karena antusiasme penduduk sangat tinggi. Dukungan orang tua pemain dan warga yang mensponsori tim itu sangat tinggi. Kabar terakhir yang saya dapatkan, saat ini Tugiyo menjadi pelatih salah satu sekolah sepak bola (SSB) di kota Semarang.

Andi Teguh (Eks pelatih Barito Putra di Era Galatama) pernah mengatakan, bahwa Tugiyo adalah salah satu talenta besar dalam sepakbola nasional. Nama Tugiyo pernah menjadi fenomena di belantika sepak bola nasional. Bagi saya pribadi, namanya yang tiba-tiba tenggelam juga menjadi fenomena tersendiri. Pemain sebesar dia, tergolong sangat singkat menikmati masa puncaknya. Sangat disayangkan juga, bahwa telantanya belum sempat dipakai untuk Tim Nasional Garuda. Apapun itu, nama Tugiyo akan selalu saya ingat. Pamain mungil, lincah, cepat dan memiliki insting mencetak gol yang sangat tinggi. Tugiyo, gol tunggal “maradona” yang membawa Mahesa Jenar juara akan selalu melegenda.






[1] Informasi tersebut saya kutip dari majalah tempo terbitan 27 April 1999

2 comments:

  1. The maradona of indonesian.....maradona soko purwodadi

    ReplyDelete
  2. Saiki dadi tonggoku ning plamongan indah,,,

    ReplyDelete