Headline salah satu harian olah raga di Italia |
Gelar juara Serie A musim 2000/2001 yang diraih oleh Roma terasa begitu spesial.
Bagaimana tidak, klub ibukota ini harus menunggu selama 18 tahun untuk kembali
mendapatkan predikat numero uno di
Serie A. Sebelumnya, pada akhir dekade 80-an sampai dengan pertengahan dekade
90-an menjadi musim yang kurang menyenangkan bagi Roma. Pada dekade ini,
perburuan gelar Serie A lebih banyak didominasi oleh Juventus dan AC Milan. Kedatangan
Franco Sensi (kala itu menjadi pengusaha minyak dan properti) yang menjadi
presiden baru Roma menggantikan Giuseppe
Ciarrapico pada tahun 1993 belum mampu memperbaiki pencapaian klub. Di masa
awal kepemilikannya, Roma lebih banyak bersaing di zona kompetisi Eropa.
Sebelumnya, Roma sempat memakai jasa Zeman selama dua musim, yaitu musim 1997/1998
dan 1998/1999. Dibawah Zeman, pencapaian Roma bisa dikatakan cukup baik. Roma
dibawa finish ke peringkat ke-4 di musim pertama dan peringkat ke-5 di musim
kedua. Akan tetapi manajemen klub pada akhirnya lebih memilih Fabio Capello untuk
mengganti Zeman. Capello (pernah menjadi pemain Roma pada dekade 60-an) yang disebut
sebagai salah satu pelatih terbaik Italia kala itu ditunjuk sebagai allenatore baru Roma untuk musim 1999/2000.
Kedatangan Capello juga dibarengi dengan didatangkannya sejumlah nama-nama
baru, antara lain Motella, Nakata, C. Zanetti, Assuncao, dan Antonioli.
Pada musim 1999/2000 gelar juara Serie A akhirnya kembali ke ibukota. Akan
tetapi gelar tersebut bukan didapatkan oleh Roma, melainkan diraih klub seteru
abadi yang juga berasal dari kota Roma, Lazio. Kedatangan Capello dan sejumlah
pemain baru belum bisa memberikan pencapaian maksimal untuk klub. Di musim tersebut,
Roma hanya mampu finish di peringkat ke-6 klasmen. Pencapaian klub tetangga
pada musim itu menjadi salah satu faktor pendorong terbesar bagi Roma untuk
meraih gelar di musim selanjutnya. Selain itu, Romanisti juga makin lantang
menyerukan tuntutan kepada manajemen untuk segera merealisasikan gelar juara.
Seiring dengan bergantian millennium, Roma menyambut musim 2000/2001
dengan optimis. Klub telah melakukan beberapa koreksi terhadap komposisi
pemain. Ada 4 tokoh sentral dalam proses perubahan yang dilakukan Roma. Mereka adalah
Franco Sensi, Daniele Prade, Franco Baldini dan Fabio Capello. Franco Sensi
menjadi salah satu tokoh sentral karena pada musim itu dia menyanggupi
pengeluaran yang besar untuk transfer pemain. Diperkirakan musim itu Roma total menghabiskan dana €86.592.000 untuk belanja pemain. Sedangkan
Daniele Prade dan Franco Baldini merupkan dua tokoh sentral atas keberhasilan
Roma dalam perburuan pemain di bursa transfer. Walter Samuel, Emerson, Zebina
dan Gabriel Batistuta adalah deretan pemain yang berhasil digaet.
Di musim kedua dibawah arahan Capello, formasi baku yang digunakan Roma
adalah 3-5-2. Komposisi pemain yang dimiliki cukup mumpuni di setiap lini. Di lini
depan, formasi 3-5-2 a la Capello sedikit dikembangkan dengan menempatkan Totti
di belakang dua penyerang. Ditangannya, Totti (sebelumnya sudah menjadi kapten
tim sejak usia 21 tahun) semakin bersinar di usianya yang ke-24 tahun. Il
Bimbo d'Oro menjadi pemain
sentral sebagai kreator permainan Roma. Bersama dengan Batistuta dan Montella,
ketiga pemain ini menjadi kombinasi tridente maut lini depan Roma.
Ketajaman barisan tridente Roma semakin
solid karena mendapat dukungan penuh dari lini tengahnya. Marcos Cafu dan
Vincent Candela menjadi pendobrak serangan dari kedua sisi lini tengah Roma.
Cafu menjadi pemain vital di sisi kanan permainan Roma. Dengan kecepatannya, “Pendolino”
(kereta ekspress) aktif membantu penyerangan maupun membantu pertahanan tim. Demikian
pula dengan Vincent Candela, permainan pemain asal Perancis ini semakin
berkembang pasca menjadi bagian dari skuad timnas Perancis ketika berhasil meraih
gelar juara di Piala Dunia 1998.
Di musim keduanya bersama Roma, C. Zanetti memegang
peranan penting di sektor tengah Roma. Bersama dengan Damiano Tommasi, mereka
mampu berkolaborasi menjaga keseimbangan
permainan tim dengan apik. Selain itu, untuk mengisi barisan pelapis ada nama Emerson,
Assuncao dan Nakata yang dalam perjalanannya mampu memberikan kontribusi
positif bagi tim. Di sektor pertahanan, Roma memiliki trio kokoh yang digalang
oleh Zebina, Samuel dan Zago. Dalam beberapa pertandingan, Capello juga
memainkan salah satu legenda Roma yaitu Aldair menjadi libero. Untuk posisi kiper
Capello tetap menaruh kepercayaan pada Antonioli, pemain yang merupakan “permintaan
khusus” untuk didatangkan dari Bologna saat ia ditunjuk untuk melatih Roma.
Roma mengawali musim dengan hasil yang
menjanjikan. Giornata pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober 2000, Roma
kedatangan Bologna di Olimpico. Pertandingan dimenangkan Roma dengan skor 2-0,
dimana gol dicetak Totti dan gol bunuh diri dari Castellini. Kemenangan Roma
berlanjut di dua giornata selanjutnya, yaitu kemenangan tandang 0-4
melawan Lecce dan 3-1 kala menjamu Vicenza di Olimpico. Enam dari total sembilan gol Roma di tiga
pertandingan awal musim berasal dari tridente (Totti 3, Batistuta 2, Montella 1). Kemenangan beruntun Roma harus terhenti ketika
bertandang ke kota Milan. Roma harus takluk 2-0 dari tuan rumah Inter Milan
melalui gol yang dicetak oleh Hakan Sukur dan Alvaro Recoba.
Setelah kekalahan dari Inter Milan, Roma
memberikan respon yang sangat positif. i Giallorossi mampu bangkit
dengan pencapaian yang mengesankan. Roma tidak terkalahkan dalam sepuluh
pertandingan, dengan capaian tujuh kemenangan dengan tiga hasil seri. Akan tetapi
hasil ini kembali dihentikan oleh tim dari kota Milan. AC Milan yang menjadi
tuan rumah berhasil mengandaskan Roma dengan skor 3-2. Akan tetapi di dua
pertandingan sisa paruh pertama musim itu, Roma kembali dapat meraih kemenangan
melawan Napoli dan Parma. Roma menjadi pemimpin klasmen di paruh musim dengan keunggulan
enam poin dari Juventus, pesaing terdekat dalam perburuan gelar juara Serie A
musim itu.
Pada paruh kedua musim kompetisi, Lazio
kembali dalam jalur perburuan gelar juara. Akan tetapi Roma berhasil
mempertahankan tren pencapaian positifnya. Pertandingan melawan Inter Milan di
Olimpico merupakan salah satu partai penting bagi Roma. Selain mengusung misi “balas
dendam”, Roma juga harus mempertahankan jarak dengan Juve dan Lazio. Pertandingan
dimenangkan oleh Roma dengan skor 3-2, tiga gol Roma diborong oleh Montella. Ketiga
gol itu pula lahir dari sundulan ‘il Aeroplanino’.
Memasuki akhir bulan Maret, Roma masih kokoh memimpin dipuncak klasmen.
Unggul 9 poin dari peringkat kedua, Juventus. Hal ini berkat tujuh pertandingan
tak terkalahkan, dimana enam laga diantaranya berhasil dimenangi Roma. Akan
tetapi memasuki bulan April tepatnya di giornata
ke-25, Roma akhirnya mengalami kekalahan ketika bertandang ke Artemio
Franchi dengan skor 3-1 untuk tuan rumah Fiorentina. Hasil negatif ini kemudian
berlanjut kala Roma menjamu Perugia di partai kandang. Roma hampir saja kalah
di partai itu kalau saja tidak tercipta gol bunuh diri dari Tedesco di menit
ke-90. Walaupun di pertandingan
selanjutnya Roma berhasil mengalahkan Udinese, akan tetapi Roma dihadapkan pada
dua pertandingan krusial beruntun, masing-masing melawan Lazio dan Juventus.
Ketika berlangsung pertandingan derby
della capitalle nampaknya akan berakhir dengan kemenangan Roma. Hingga menit
ke-55 Roma berhasil memimpin berkat gol dari Batistuta dan Delvecchio. Pavel
Nedved berhasil mencetak gol bagi Lazio pada menit ke-78. Skor 2-1 sempat
bertahan hingga menit ke-94. Hingga pada akhirnya Lucas Castroman membuyarkan kemenangan
Roma yang sudah didepan mata ketika dia mencetak gol di menit ke-95. Skor akhir
2-2 menjadi pencapaian yang cukup baik bagi I
Lupi. Optimisme untuk meraih gelar juara semakin tinggi. Banyak yang
meyakini bahwa gelar tersebut akan didapatkan ketika bertandang ke Turin
melawan Juventus.
Sebagian besar Romanisti menyiapkan malam berlangsungnya pertandingan
melawan Juve sebagai unofficial Scudetto
showdown. Keyakinan untuk mengalahkan Juve bagitu tinggi, hal ini justru
malah berdampak pada permainan Roma di babak pertama. Meskipun sempat menyerang
diawal laga melalui Delvecchio, akan tetapi justru Juve yang berhasil unggul
cepat ketika pertandingan baru memasuki menit ke-4 melalui Del Piero. Konsentrasi
pemain pun buyar. Belum sempat memperbaiki permainan, Juve menggandakan
keunggulan melalui pahlawan kemenangan Perancis di Piala Dunia 1998, Zidane. Babak
pertama Roma tertinggal 2-0 dari tuan rumah.
Di babak kedua, Capello memasukkan Montella untuk mengganti Delvecchio. Akan
tetapi, suplai bola dari lini tengah Roma masih minim ke lini depan. Perubahan
strategi kembali dilakukan, C. Zanetti ditarik keluar dan digantikan Assuncao. Meskipun
permainan Roma membaik, akan tetapi belum juga membuahkan hasil, hingga
akhirnya Capello melakukan sebuah pergantian yang fenomenal. Sang kapten,
Francesco Totti ditarik keluar dan digantikan oleh Hidetoshi Nakata. Banyak yang
mempertanyakan strategi yang dijalankan Capello. Demikian pula dengan Totti
yang terlihat menunjukkan gelagat kecewa ketika dengan emosional melemparkan
ban kapten kepada Tommasi sebelum meninggalkan lapangan.
Akan tetapi, strategi Capello membuahkan hasil. Pada menit ke-78 Nakata
berhasil mencetak gol melalui tendangan keras dari luar kotak pinalti. Bola
dengan deras menghujam pojok kanan gawang Van der Sar. Setelah gol tersebut,
Juve yang kala itu ditangani Carlo Ancelotti mencoba untuk mengamankan
kemenangan dengan memperkokoh lini pertahanan. Del Piero ditarik keluar dan
digantikan oleh Antonio Conte. Delapan menit kemudian, Juve kembali memasukkan
pemain bertahan, Ciro Ferrara menggantikan Mark luliano. Akan tetapi serangan
Roma semakin intens, puncaknya terjadi pada menit ke-90. Nakata kembali
melancarkan tendangan keras ke pojok kiri gawan Van der Sar. Bola sepakan
Nakata tidak dapat ditepis sempurna oleh Van der Sar dan bola rebound berhasil disasar Montella. Gol…2-2. Hasil imbang bertahan hingga peluit akhir dibunyikan.
Gelar juara belum sepenuhnya diraih oleh Roma, karena masih ada lima
pertandingan sisa. Atalanta dan Bari sukses dibenamkan La Magica. Laga tandang melawan Milan juga sukses dilalui dengan
hasil imbang. Ini artinya, kemenangan tandang melawan Napoli akan memastikan
gelar juara bagi Roma. Akan tetapi partai melawan Napoli bukanlah pertandingan
yang mudah. Pertemuan kedua tim yang juga sering disebut dengan derby del sole ini juga merupakan laga
penting bagi pasukan Partenopei. Mereka
harus meraih hasil maksimal agar terhindar dari degradasi. Laga pun berakhir
imbang 2-2, dan kembali lagi Roma harus menunda gelar Scudetto hingga pertandingan terakhir Serie A musim tersebut.
Di partai pamungkas, Roma menjamu Parma di Olimpico. Seluruh stadion penuh
sesak oleh puluhan ribu Romanisti yang memadati Olimpico. Dahaga akan gelar
nampaknya sudah tidak tertahankan bagi mereka. Rentang waktu 18 tahun penantian
mereka akan terwujud dalam 90 menit pertandingan yang akan menjadi momen
bersejarah bagi tifosi, pemain dan klub. Kemenangan merupakan harga mati bagi
Roma untuk menyempurnakan pencapaian bagus mereka selama semusim. Gelar juara
bisa saja melayang ketangan Juventus, hal ini disebabkan karena kedua tim hanya
berbeda dua poin saja.
Bukan perkara mudah untuk mengalahkan Parma. Di musim itu pula, Parma
merupakan sebuah tim yang solid. Parma kala itu dihuni oleh skuad yang mumpuni
dan potensial karena sebagian merupakan pemain muda. Marco Di Vaio, Savo
Milosevic, Mathias Almeyda, Diego Fuser, Lilian Thuram, Gianluigi Buffon, Paolo
dan Fabio Cannavaro merupakan deretan pemain muda yang bersinar bersama Parma
di musim itu. Dibawah asuhan Alberto Malesani, tim ini bahkan berada di posisi
ke-4 klasmen mengungguli Milan dengan selisih tujuh poin. Mereka juga telah memastikan
satu tempat di Liga Champion, jadi apapun hasil dari pertandingan melawan Roma
tidak akan banyak berpengaruh bagi mereka.
Totti merayakan gol pembuka pada laga melawan Parma |
Pertandingan berjalan dengan ketat. Roma mengawali laga dengan baik. Tridente Totti, Batistuta dan Montella
dimainkan sejak menit pertama. Duet Di Vaio dan Milosevic juga sesekali
memberikan tekanan. Kebuntuan akhirnya pecah di menit ke-19. Berawal dari
pergerakan Candela di sisi kanan pertahanan Parma, pemain dengan nomor punggung
32 ini melakukan penetrasi ke kotak pinalti Parma. Melihat Totti melakukan
pergerakan tanpa kawalan, Candela melepaskan umpan datar dan bola disambar oleh
Er Pupone dengan tendangan keras. Buffon
hanya bisa terpaku melihat bola masuk ke sisi kanan gawangnya. Terlihat dengan
jelas gol ini bermakna begitu emosional bagi sang kapten. Dia merayakan gol dengan
berlali ke arah Curva Sud dengan membuka kaosnya. Seisi stadion bergetar
menyambut gol bersejarah local hero kota Roma.
Setelah gol pertama, Roma
tidak mengendorkan serangan. Berawal dari pergerakan Batistuta di sisi kiri
pertahanan Parma, pemain asal Argentina ini mampu masuk ke dalam kotak pinalti
Parma. Dia berhasil melepaskan tendangan
keras, akan tetapi bola masih mampu ditepis oleh Buffon. Akan tetapi, Montella
dengan sigap menyambar bola liar tersebut dan menceploskan gol ke gawang Parma
untuk kedua kalinya. Dengan selebrasi khasnya, kembali dia berlari ke arah Curva
Sud. Beberapa tifosi menyambutnya dengan pelukan penuh emosional. Babak
pertama berakhir dengan keunggulan Roma 2-0.
tridente andalan lini depan Roma |
Jalannya pertandingan babak
kedua masih sama. Siang itu, hasrat seluruh pemain Roma begitu tinggi untuk memenangkan
pertandingan. Gol yang ke-3 akhirnya datang, kali ini kembali diawali dari
pergerakan Batistuta di menit ke-78. Mendapat umpan lambung dari lini belakang,
setelah melewati satu bek Parma, Batistuta melepaskan tendangan keras ke sisi
tiang dekat Buffon. Gol pun tercipta, Gol ke-20 untuk Batistuta dan gol ke-68
untuk AS Roma di musim itu. Gelar Juara nampaknya sudah pasti digenggaman Roma.
Empat menit setelah gol Batistuta, Parma sempat memperkecil ketertinggalan
melalui gol Di Vaio. Akan tetapi hasil 3-1 tetap bertahan hingga wasit Stefano
Braschi meniup peluit panjang tanda berakhirnya laga.
Romanisti "menginvasi" lapangan stadion Olimpico |
Sotak, puluhan ribu
Romanisti meluap ke lapangan. Mereka hanyut dalam euphoria keberhasilan tim
kesayangannya meraih Scudetto. Tanpa sungkan mereka melucuti jersey pemain-pemain
Roma. Bahkan Totti terlihat hanya menggunakan celana dalam dan sepatu saja
setelah kaos dan celananya “diminta” oleh Romanisti.
Hari minggu, 17 Juni 2001
merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh Romanisti. Skuad AS
Roma dibawah Fabio Capello untuk ketiga kalinya dalam sejarah klub mampu meraih
gelar juara Serie A. Raihan tim ini juga terbilang fantastis, Roma selalu memimpin
klasmen sejak awal musim. Gol yang dicetak juga menjadi gol terbanyak diantara
kontestan lainnya. Dan yang paling fenomenal adalah raihan poin akhir Roma, 75
poin, merupakan raihan poin tertinggi tim di Serie A selama menggunakan sistem 18 kontestan liga (mulai musim 04/05 kontestan Serie A berjumlah 20). AS Roma di musim 2000/2001 mengingatkan kita akan sebuah
kenangan. Kenangan manis di awal millennium yang akan selalu menarik untuk
dijadikan ulasan.
Grazie Roma…
Roma non si discute. Roma
si ama!
mantap romanisti
ReplyDeleteSabar y...18 tahun lg br juara...1-2 thun lgi
ReplyDelete