Saturday, November 24, 2012

Timnas Ditengah Keterbatasan

Beban super berat disandang Tim Nasional Indonesia di piala Federasi sepak bola ASEAN (AFF) 2012 yang akan segera bergulir hingga 22 Desember. Aral menghadang dari segala sisi, bahkan dari negeri sendiri. Kesebelasan merah putih itu dibangun dalam situasi konflik, yaitu konflik tiada henti antara PSSI pimpinan Djohar Arifin dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Konflik itu telah melahirkan PSSI tandingan dibawah komando La Nyalla Mataliti dan timnas sempalan dengan pelatih Alfred Riedl. 

Dampaknya pun kasat mata terlihat. PSSI tak leluasa merancang skuad garuda untuk membentuk tim yang solid dan bermental tangguh. Pelatih Nil Maizar dan (Manajer) Habil Marati dipaksa pontang-panting.  Keinginan PSSI memanggil pemain Indonesia Super League (ISL) untuk digabungkan dengan materi dari pemain Indonesia Premier League (IPL) terus membentur tembok egoisme kelompok. KPSI sebagai pengendali ISL selalu punya dalih berlebih untuk menghalangi niat itu. 

Dalam nota kesepahaman yang diteken PSSI dan KPSI di kantor konfederasi sepak bola Asia (AFC) 7 Juni, tegas disebutkan “Timnas dibawah yuridiksi PSSI”.  Namun KPSI memilih menafsirkan lain, semangat memaksakan kehendak tetap menggelegar. Mereka hanya melepas pemain ISL ke Timnas jika Riedl menjadi pelatih kepala. Sebuah sikap mengada-ada. Begitulah KPSI, didepan AFC patuh, tetapi dibelakang membangkang. Padahal Timnas semestinya dibangun dan berlaga di level internasional hanya punya satu misi, yakni mengangkat harkat dan martabat bangsa. 

Semangat timnas begitu mulia, yakni merajut beragam kepentingan demi kejayaan bangsa. Namun, di negeri ini Timnas justru menjadi lahan bagi sebagian orang untuk memamerkan kejemawaan. Timnas diperlukan layaknya ajang perebutan kekuasaan politik yang sarat intrik. Timnas malah menebalkan sekat antar sesama anak bangsa. Sekat yang menjungkir balikkan akal sehat. Simak saja ketika Bambang Pamungkas bergabung dengan Timnas, tidak sedikit yang bersuara sumbang. Bambang yang jelas-jelas ingin mengharumkan nama negara justru dicap pengkhianat. 

Celakanya lagi, pemerintah ikut larut dalam intrik. Menpora, Andi Mallarangeng, sempat ogah mengucurkan bantuan dana karena menurutnya Timnas tidak diisi pemain-pemain terbaik. Bukankah PSSI sudah membuka peluang bagi pemain ISL tetapi dijegal KPSI? Bukankah dengan sikap itu berarti Menpora mengkerdilkan punggawa Timnas yang ada? Memang, Menpora akhirnya membantu Timnas Rp. 800 juta, tetapi itu amat terlambat. Bisa jadi pula ia malu, karena sekelompok supporter lebih dulu menyumbang Rp. 56 juta hasil penggalangan dana untuk Timnas. 

Boleh saja Menpora tak peduli tak masalah jika ada orang Indonesia yang berharap pasukan Nil Maizar hancur lebur di piala AFF, sehingga mereka punya amunisi baru untuk menyerang PSSI. Namun percayalah, sebagian besar rakyat tetap mencintai dan mendukung Timnas. Dalam sepak bola berlaku aksioma, tidak ada yang tidak mungkin. Timnas boleh dipandang nyinyir, tetapi bukan mustahil merekalah yang akan mengakhiri paceklik prestasi sepak bola nasional. Itulah yang kita harapkan di perhelatan piala AFF.  

Artikel diatas merupakan kutipan prolog dari tayangan ulasan “Bedah Editorial Media Indonesia” di Metro TV yang kala itu mengangkat topik “Timnas Ditengah Keterbatasan”. Sedih memang, ketika pecinta bola di Indonesia ini dipermainkan oleh secuil oknum yang menyeret sepak bola nasional ke dalam jurang kelam bernama politik. Seakan-akan otak, kaki dan tangan mereka telah terpatri untuk terus menerus mengusik sepak bola negeri ini. Mereka tidak akan pernah puas, walaupun sebelumnya mereka telah menghancurkan sepak bola nasional dengan berbagai skandal memalukan. 

Jujur, saya tidak fanatik dengan PSSI dibawah kepemimpinan Djohar. Apalagi setelah dia mengeluarkan kebijakan mengenai syarat klub yang tergabung di liga PSSI musim lalu. Jelas hal tersebut menjadikan banyak pihak langsung antipati terhadap kepemimpinannya. Kemudian munculnya La Nyalla. Komisi Penyelamat Sepak Bola Nasional, terdengar begitu manis memang bagi pecinta sepak bola nasional yang menginginkan perbaikan. Sempat memberikan angin segar, akan tetapi di akhir, justru kelompok ini yang Nampak nyata sebagai Komisi Perusak Sepak Bola Nasional

Dalam situasi ini, posisi saya netral. Jelas bahwa kedua kelompok baik PSSI maupun KPSI sama-sama (pernah) melakukan kesalahan. Keduanya juga sama-sama memiliki sisi bejat dan kelam.
Akan tetapi untuk Timnas, legitimasi yang dimiliki PSSI adalah mutlak. Tawaran kerja sama dengan KPSI juga telah dilayangkan. Tapi faktanya jelas, La Nyala lah yang menjadi begundal sesungguhnya. Dari awal saya 100% mendukung Timnas Indonesia. Bukan soal PSSI atau pun KPSI. Akan tetapi sebuah tim yang legal, sah, resmi dan yang mendapat pengakuan dari FIFA yang akhirnya pantas disebut Tim Nasional Indonesia. 

Hormat saya sepenuhnya saya tujukan kepada seluruh punggawa Timnas saat ini, terutama Bambang Pamungkas dan kepala pelatih Nil Maizar. Dengan tidak mengesampingkan peran punggawa lainnya, akan tetapi dua sosok ini merupakan tokoh sentral dalam skuad Timnas saat ini. Bepe dengan keberaniaannya bergabung dengan Timnas dibawah bayang-banyang sanksi KPSI (yang nyatanya tidak terbutkti) dan Nil Maizar yang dengan keteguhannya membangun Timnas dengan komposisi “seadanya”. Sungguh sebuah tindakan dan tekad yang harus kita apresiasi.

Pada akhirnya, lewat tulisan ini lagi-lagi saya hanya bisa melayangkan doa. Doa yang benar-benar tulus dari dalam hati, semoga seluruh pemain dalam skuad garuda nanti dapat bermain maksimal. Tolong sejenak lupakan berbagai kemelut di persepak bolaan negeri ini. Cobalah fokus bertanding. Kalian mewakili kami, 240 juta rakyat Indonesia yang saya yakin sebagian besar masih memiliki cinta dan harapan akan torehan prestasi dari kalian. Bertarunglah sebagai wakil kami, bukan lagi oknum di PSSI, politisi apalagi KPSI. 

Selamat bertanding skuad garuda, doa dan harapan terbaik akan selalu kami tujukan untuk kalian disana.

No comments:

Post a Comment