Tuesday, April 10, 2012

Machine Gun Preacher : Ketika Seorang Bajingan Berubah Menjadi Misionaris Tuhan


Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata seorang Sam Childers (Gerard Butler). Kejahatan, narkotika dan alkohol adalah teman karibnya semasa dia terjerumus dalam lubang kehidupan yang kelam. Semua itu kemudian berubah ketika dia mendapat pencerahan dari Tuhan. Seorang kriminal kemudian bertransformasi menjadi seorang religius yang membawanya “berjuang” dalam misi kemanusiaan di Sudan Selatan, Afrika. Film yang rilis pada 2 November 2011 ini merupakan gambaran lain dari getirnya kehidupan di kawasan Afrika yang sampi saat ini masih menyisakan banyak konflik. Digarap oleh sutradara Marc Forster, film ini menjadi favorit ketiga saya (dari segi penggambaran konflik di Afrika) setelah film Hotel Rwanda (2004) dan Blood Diamond (2006).

Pada awalnya, film dimulai dari Sam yang telah resmi menjadi narapida. Pahitnya kehidupan di penjara ternyata belum juga bisa merubah kehidupannya. Disisi lain, istrinya Lynn (Michelle Manoghan) yang sebelumnya adalah penari telanjang di sebuah klub malam di Pennsylvania telah berubah menjadi lebih religius. Pada awalnya, sulit bagi seorang Sam untuk menerima perubahan yang begitu cepat baginya. Dia masih tetap sulit untuk meninggalkan kehidupan kelamnya yang banyak dilakukan bersama Donnie (Michael Shannon). Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Semua berubah ketika Sam menusuk seorang gelandangan yang menumpang mobil mereka ketika mereka baru saja merampas secara paksa narkotika dan uang dari seorang bandar narkoba. Dalam keadaan yang berada dititik terendah dalam hidupnya, Sam akhirnya memberanikan diri untuk bertobat.

Transformasi diri dari seorang Sam pun dimulai. Dia mencoba untuk memulai kehidupan barunya, diawali dengan mencari pekerjaan yang halal. Kegigihannya dalam usaha akhirnya membuahkan hasil ketika dia memiliki usaha sebagai kontraktor bangunan. Kehidupan religiusnya pun semakin membaik dengan seringnya dia pergi ke tempat ibadah. Sampai pada suatu ketika, dia menerima tawaran untuk pergi bersama dengan jemaat gereja ke Uganda dalam misi kemanusiaan mendirikan rumah penampungan bagi korban konflik. Ketika teman sesama jemaat gereja lainnya memilih pergi mencari hiburan pada saat senggang, dia memilih jalan lain. Dia memutuskan untuk pergi ke Sudan Selatan ditemani oleh salah satu tentara Sudan People Liberation Army (SPLA) bernama Deng (Soulemany Sy Savane).

Di Sudan dia melihat sebuah pamandangan yang memilukan. Disini ada sebuah adegan yang benar-benar menyedihkan, dimana seorang wanita yang mulutnya dipotong oleh tentara Lord’s Resistance Army (LRA) karena mencoba mendebat pasukan yang dipimpin oleh Joseph Kony. Tidak berhenti disitu, ketika malam hari saat Sam dan Deng menginap di sebuah bangunan di kawasan Sudan Selatan datanglah segerombolan anak-anak dari pinggiran yang tidur diluar bangunan mereka. Anak-anak ini dikirim oleh orang tua mereka untuk menghindari serangan tentara LRA yang kerap kali melakukan pembantaian warga di beberapa desa ketika malam tiba. Tidak tega melihat keadaan ini, dia menyuruh anak-anak untuk masuk dalam bangunan dan tidur bersama dengan mereka. Hal yang memilukan terjadi lagi ketika pagi tiba, mereka menemukan sebuah desa yang penduduknya dibantai habis oleh tentara LRA. Bahkan seorang anak yang masih selamat dan mencoba untuk mengejar anjingnya yang lari ketakutan harus ikut tewas dengan keadaan kaki yang hancur karena terkena ranjau. Anak itu mati di pelukan Sam. Ini adalah sebuah momen yang menjadikannya ingin berbuat sesuatu untuk menyelamatkan anak-anak di Sudan Selatan.

Ketika dia pulang dari Afrika, dia memulai rencananya dengan membangun sebuah gereja yang nantinya akan menjadi sebuah yayasan bernama Shekinah Fellowship di Central City, Pennsylvania. “A place for a sinner just like me, who want to hear word of god” itulah kata yang diucapkan Sam kepada Lynn ketika pertama kali memiliki gagasan untuk membangun sebuah gereja, tidak peduli bahwa dia pelacur, pecandu narkotika maupun pecandu alkohol, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk kembali ke jalan Tuhan. Dalam perjalanannya, Sam  akhirnya rutin mengisi kotbah di gereja tersebut. Dari gereja ini, dia menceritakan getirnya kehidupan, terutama anak-anak, di Sudan Selatan. Dari gereja ini pula dia menghimpun dana yang akan disumbangkan untuk pembangunan sebuah panti asuhan di Sudan Selatan.

Tidak berlama-lama di Pennsylvania, Sam pun kembali ke Sudan Selatan untuk memulai pembangunan panti asuhan. Sempat mendapat kendala di awal perencanaan, dimana lokasi yang dia inginkan ditolak oleh pihak berwenang setempat. Dia memilih lokasi yang letaknya berada di tengah-tengah antara zona aman dan zona perang. Pikirnya, lokasi itulah yang paling tepat dijadikan panti asuhan, karena kebanyakan desa yang rawan pembantaian dapat dengan cepat menjangkau lokasi panti tersebut. Walaupun akhirnya dia mendapat persetujuan untuk membangun di lokasi tersebut dengan membeli tanahnya, akan tetapi kendala tidak berhenti sampai disini. Ketika proses pembangunan telah berlangsung, saat malam tiba tentara LRA menyerbunya. Beberapa tentara SPLA tewas dan sebagian bangunan yang belum rampung hancur oleh senjata pasukan LPA.

Kejadian ini menjadi guncangan besar bagi seorang Sam. Dia mulai putus asa dengan tujuan mulianya. Dia mulai merasa bahwa apa yang dia lakukan hanya berujung sia-sia. Untung saja, Lynn tetap memberikan dukungan penuh terhadap suaminya. “Telah banyak dari anak-anak disana yang kehidupannya dibakar dan dihancurkan. Berapa banyak dari mereka yang menyerah ? Tuhan selalu memiliki tujuan, Sam ! Sekarang bangkitlah, berhenti mengangis dan mulailah membangun kembali”. Kalimat dari istrinya tadi terdengar sangat powerful. Berkat motivasi dari sang istri, Sam kembali bangkit untuk berjuang mendirikan panti asuhannya. Berkat kegigihannya, panti asuhan itu pun akhirnya dapat berdiri.

Salah satu rutinitas dari panti asuhan ini adalah melakukan penjemputan anak-anak yang terletak di desa rawan konflik untuk dibawa ke panti. Suatu hari, Deng dan Marco yang pulang dari penjemputan di daerah bernama Adjumani, mendapati sorang bocah yang terluka parah karena disiksa oleh pasukan LRA. Segala upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa bocah ini, akan tetapi sayang, maut tetap menjemputnya. Sam yang sudah tidak tahan melihat penyiksaan ini bergegas pergi ke desa itu. Disana dia bertemu dengan rombongan pasukan LRA yang sebagian merupakan tentara anak-anak. Sebagian besar dari tentara anak-anak tersebut telah mendengar mengenai keberadaan Sam yang dijuluki “White Preacher” (pengkotbah putih). Anak-anak yang dipaksa untuk mengangkat senjata dan harus berhadapan dengan tentara SPLA yang dipimpin Sam pun takut. Pada akhirnya mereka justru menembak atasan LRA, dan memilih untuk tinggal bersama Sam di panti asuhan.

Lambat laun, jumlah anak yang tinggal di panti asuhan tersebut semakin meningkat. Dana yang dibutuhkan juga semaking tinggi. Dana yang tadinya hanya bergantung pada sumbangan yang diperoleh Shekinah Fellowship sudah tidak cukup lagi. Beberapa kali Sam mencoba mendatangi langsung pengusaha di Pennsyvania untuk memberikan donasi. Akan tetapi, keadaan ekonomi Amerika Serikat yang saat itu juga sedang mengalamai krisis mengakibatkan donasi juga sulit didapat oleh Sam. Saat itu, Sam berencana untuk membangun taman bermaian untuk anak-anak di panti asuhan, dengan biaya yang dibutuhkan sebesar US$5000. Sulitnya memperoleh donasi pada akhirnya mengharuskan dia untuk menjual beberapa barang pribadinya. Senjata kesayangan dan juga mobil Lynn akhirnya dia jual untuk dapat mendapatkan biaya pembangunan taman bermain bagi anak-anak panti asuhan.

Kembali lagi ke Afrika, Sam berhasil membangun taman bermaian di panti asuhan. Kegigihannya memperjuangkan nasib anak-anak ini pula yang pada akhirnya terdengar sampai ketelinga John Garang, pemimpin oposisi Sudan. Dia berkunjung ke panti asuhan dan sempat menawari Sam untuk turut serta dalam perundingan damai yang akan diadakan di Rusia. Sam dengan tegas menolak ajakan tersebut. Dia berpendapat bahwa perudingan hanya omong kosong dan tidak ada bukti nyatanya. Perjuangannya di panti asuhan adalah wujud konkret dari perjuangan menuju perdamaian sesungguhnya. Setelah kunjungan tersebut, pagi harinya Sam didampingi beberapa pasukan SPLA berangkat menuju kota untuk membeli beberapa kebutuhan bulanan. Pada saat perjalanan pulang, mereka bertemu dengan puluhan anak yang akan diculik oleh tentara LPA. Karena keterbatasan tempat, hanya beberapa anak saja yang diangkut menuju panti asuhan. Ketika Sam dan rombongan kembali untuk menjemput sisanya, secara tragis mereka hanya menemui tumpukan tubuh anak-anak yang telah hangus terbakar.

Kebencian yang begitu mendalam telah merasuki seorang Sam Childers. Emosinya berubah menjadi meledak-ledak setelah peristiwa tersebut. Ditambah lagi, ketika dia mendapati berita bahwa pemimpin oposisi John Garang turut tewas dalam sebuah kecelakaan helikopter. Kali ini dia benar-benar dipenuhi oleh amarah. Tanpa pikir panjang, dia menjual seluruh aset yang dimiliki. Tabungan keluarga juga dia ambil. Sampai-sampai, Paige, anak kandungnya berkata “you love that black babies rather than me”. Dia merasa bahwa sang ayah terlalu jauh berbuat dan mulai melupakan keluarganya. Tujauan kemanusiaan yang tadinya mulia saat itu berubah menjadi layaknya emosi dalam diri yang tidak terkendali. Meskipun ditentang oleh keluarganya, Sam tetap bergeming. Dia tetap menjual seluruh aset dan mengambil tabungan keluarganya untuk digunakan membeli sebuah truk yang akan digunakan untuk mengangkut lebih banyak anak di desa-desa rawan konflik.

Sebagian besar tentara SPLA yang mendampinginya di panti asuhan juga mulai tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi dalam diri Sam. Mereka mulai ragu tentang kepemimpinan Sam. Tindakannya yang lebih mengedepankan emosi menjadi salah satu alasan utama mengapa kepercayaan mereka terhadap Sam mulai luntur. Dalam keadaan terpuruk, film ini kemudian menampilkan sebuah adegan yang sangat menyentuh. Ketika malam datang, Sam yang terjaga dari tidurnya dikagetkan dengan masuknya seorang bocah ke dalam kamarnya. Sejak pertama kali ditemukan, bocah ini tidak pernah sekalipun berbicara dengan Sam. Akan tetapi malam itu bocah itu mengucapkan kata-kata yang berarti dalam bagi seorang Sam. Dia bercerita bagaimana keluarganya dihabisi oleh LRA. Dia juga bercerita bagaimana tentara LRA memaksanya membunuh ibu kandungnya. Sampai pada akhirnya dia berkata “If we are allows ourself to full of hate, than they won. We must not let them take your heart”. Seketika itu Sam memeluknya, dan seketika itu pula Sam mulai sadar bahwa dia terlalu jauh terbawa arus amarah.

Sebuah film yang benar-benar menyentuh. Gambaran seorang Sam Childers yang begitu apik tersaji di film ini. Gerard Butler mampu menjiwai seorang Sam Childers. Emosi dari Butler di film seolah merupakan satu kesatuan dari seorang Sam. Pemaparan cerita juga berjalan dengan sangat menarik. Banyak sekali terdapat adegan yang begitu menyentuh, seolah kembali mengingatkan kita bahwa sampai saat ini, kehidupan seorang manusia masih bernilai “sangat murah” di Afrika. Tak heran, apabila film ini pun digadang-gadang bakal menjadi salah satu nominasi peraih Oscar. Satu catatan penting, seorang Sam Childers sampai saat ini terus berjuang di Sudan Selatan untuk menyelamatkan sebanyak mungkian anak-anak dari ancaman pembantaian pasukan LRA. Sam tidak sendirian karena keluarganya Lynn dan Paige, hingga saat ini tetap setia mendampingi dan mendukungnya. Dengan semua yang telah dia lakukan, semoga lewat film ini mata dunia kembali terbuka. Lewat seorang Sam Childers pula kita mendapatkan jawaban dari pertanyaan “Has God forgot about the people of Africa ?”. Ternyata Tuhan masih peduli terhadap Afrika, dia menunjukkan kepeduliannya melalui perjuangan “utusannya”, Sam Childers.




No comments:

Post a Comment