Bir dan Sepak Bola

Dear Mr./Mrs. Hooligan,

“We know that you are someone who does not always hold fast to the rules in sports events. Therefore, to our knowledge, you have been banned from the stadiums or served with other measures. We wish that you too could enjoy this major sports event in a sportsmanlike and festive fashion. We would not tolerate any violence, and would intervene promptly in any such occurrences. We hope that we would only encounter each other in a pleasant manner. In case you have any questions, please get in touch with us”.[1]

                                                                                                            Yours, Swiss Police

Pada 6 Juni 2008, menjelang putaran final Euro 2008 di Swiss, pihak kepolisian setempat mengirim 300 pucuk surat berjudul "For a peaceful international football festival". Surat tersebut ditujukan kepada hooligan yang memiliki rencana untuk menyaksikan langsung ajang sepak bola tertinggi bagi negera-negara di daratan Eropa tersebut. Panitia penyelenggara dan pihak keamanan memang berkepentingan dengan peringatan-peringatan semacam itu. Mereka tak ingin ajang pertandingan sepak bola yang sejatinya adalah olahraga sekaligus juga menjadi hiburan berubah menjadi petaka yang merugikan banyak pihak. Bagi mereka, kekerasan dalam perhelatan sepak bola merupakan hal utama yang harus dihindari. Apalagi, mereka akan menyelenggarakan EURO, salah satu turnamen sepak bola paling populer di jagat raya.

Kekhawatiran pihak kepolisian Swiss memang beralasan. Hooligan memang terkenal sebagai “tukang onar” dimanapun dia berada. Tampilan mereka khas. Berpakaian dengan atribut tim Inggris, beberapa ada yang tidak berpakaian dan sebagian besar dari mereka menenteng bir ditangannya. Bir memang telah identik dengan suporter sepak bola, khususnya hooligan. Minuman yang menurut sejarah telah ada sejak 5000 tahum sebelum masehi ini merupakan minuman wajib mereka. Bir juga sering dikatakan sebagai minuman terpopuler ke-3 di dunia setelah air putih dan teh. Kadar alkoholnya pada umunya adalah 4-7%, tapi di daratan Eropa ada beberapa yang kadar alkoholnya mencapai 20%. Nah, ketika para hooligan ini berada dibawah pengaruh alkohol, seringkali timbul kerusuhan.

Mungkin setiap orang bisa menonton sepak bola ketika akhir pekan telah tiba melalui kanal-kanal televisi. Siapa saja dapat menontonnya cukup dengan hanya duduk di depan layar kaca, tidak perlu keluar rumah. Akan tetapi, sepak bola adalah semacam ritual yang akan terasa lebih sakral apabila disaksikan secara “berjamaah”. Itulah sebabnya, saat ini semakin banyak kafe, bar,  kedai minuman atau bahkan rumah makan cepat saji menjadi tempat-tempat “peribadatan” sebuah kultus modern yang bernama sepak bola. “Football is my religion, The Valley is my church,” adalah salah satu contoh slogan yang terpampang di tembok Tenggara kota London dimana Charlton FC berada. Ketika stadion tak mungkin lagi dimasuki karena alasan keamanan dan mahalnya harga tiket, akhirnya pilihan jatuh pada keinginan untuk nonbar (nonton bareng).

salah satu ciri khas seorang hooligan

bir menjadi syarat wajib suatu perayaan

---

Di daratan Eropa misalnya, bar-bar minuman menjadi ruang yang selalu sesak oleh para penggemar sepak bola. Mereka menyaksikan pertandingan melalui layar televisi sambil menikmati makanan kecil dan bir tentunya. Di Jerman, tradisi menonton sepak bola di bar sudah berlansung sejak lama. Orang-orang disana bahkan memiliki kisah tentang bir yang menemani acara menonton sepak bola. Di dekat sebuah hotel di kota Frankfurt, ada sebuah bar di ruang terbuka. Pemiliknya memasang layar penayang televisi diantara dua pohon. Setiap ada pertandingan, bar itu selalu dipenuhi tamu, baik laki-laki maupun perempuan. Hampir semua pengunjung memesan segelas bir. Mereka meminumnya sambil menonton pertandingan lewat televisi. Mereka yang tidak kebagian tempat duduk akan berdiri dengan tangan memegang gelas bir. Bir adalah kegemaran masyarakat setempat. Bir di Jerman memiliki berbagai jenis. Terdapat lebih dari 6.000 merk dan 1.200 pabrik di Jerman.[2]  Dalam kehidupan sehari-hari, bir sangat laku, lebih-lebih selama berlangsungnya perhelatan World Cup 2006. Maklum saja, di Jerman harga bir lebih murah daripada harga air mineral. Jadi kebanyakan orang Jerman lebih sering meminum bir daripada air mineral.

Saya ada sedikit cerita mengenai hal ini. Salah satu teman saya memiliki kakak yang menikah dengan orang Jerman. Ketika lebaran, mereka pulang ke Indonesia. Mereka membawa anak mereka yang masih berumur kira-kira empat sampai lima tahun. Setelah tiga hari di Indonesia, anak itu terlihat lemas, sama sekali tidak excited dengan kunjungannya kesini. Ternyata, yang menyebabkan anak ini lemas dan tidak bersemangat bukanlah suasana Indonesia yang panas, banyak nyamuk atau masih kalah maju dibanding Jerman. Anak ini sudah tiga hari tidak meminum bir !! Itulah penyebab utamanya dia lemas. Ini serius loh. Saya sendiri juga kaget melihatnya. Anak yang masih terlihat begitu lugu, lucu dan menggemaskan ternyata sudah mulai “kecanduan” bir. Dan sebagai tambahan, ketika saya sempat berbicara dengan anak itu, dia adalah fans dari klub Duisburg. Beberapa musim lalu, klub ini sempat berkompetisi di Bundes Liga Jerman. Akan tetapi seingat saya, klub ini hanya mampu berkutat di papan bawah klasmen.

Bir memang menjadi perekat yang mengumpulkan berbagai macam penggemar sepak bola. Apa pun tim favoritnya, semua akan menjadi sahabat begitu mengobrol sambil meminum bir. Bir juga minuman untuk merayakan kemenangan. Tak ada yang lebih cocok daripada bir yang berbuih untuk menyaksikan kembali adegan gol yang mendebarkan dan menggembirakan. Selain itu, bir bisa melipur lara. Jika tim yang dijagokan kalah, minumlah bir, tentu akan berkobar kembali hasrat untuk menyaksikan pertandingan berikutnya. Para penggemar sepak bola, terutama di Eropa, memang sangat menyukai bir. Padahal, kerusuhan suporter seringkali  terjadi karena faktor alkohol.

Bir bukan hanya menjadi kegemaran dari para fans. Bir seolah-olah menjadi salah satu syarat wajib ketika suatu negara ataupun klub merayakan kesuksesannya meraih gelar. Lihat saja ketika tim, terutama di Bundes liga dan Premier Leage merayakan gelarnya. Beberapa kali saya melihat para official dan pemain Bayern Munchen layaknya mandi dengan bir ketika perayaan gelar liga mereka di stadion. Begitu juga dengan Manchester United, bir juga hadir dalam perayaan gelar mereka ketika berhasil meraih gelar liga musim lalu.

Kembali lagi ke cerita saat berlangsungnya perhelatan World Cup 2006. Kala itu, bar-bar di Frankfurt seperti menjadi milik hooligan Inggris. Mereka juga berkumpul di taman-taman kota, kafe-kafe, kereta api dan tempat-tempat umum lainnya. Pemerintah Jerman sendiri kala itu tidak melarang peredaran minuman keras. Hal ini menjadikan banyak hooligan dengan santainya berjalan sembari sesekali menenggak bir. Ada juga yang ketika menunggu pertandingan, mereka berpesta bir sejak pagi hari di bar-bar. Tangan mereka memegang botol-botol bir. Mereka terus berteriak, “England, England, England !” sambil mengepalkan tangan. Apabila anda pernah menonton film Green Street Hooligan anda akan dapat melihat gambarannya. Dalam salah satu scene di film itu, diperlihatkan pendukung West Ham sedang nonbar di dalam sebuah bar. Masing-masing memegang segelas bir, mereka tidak berhenti bernyanyi dan meneriakkan yel-yel klub sepanjang pertandingan. Mereka terlihat bagaikan berada langsung di stadion.

Dalam kehidupan warga Eropa, meminum alkohol identik dengan maskulinitas. Akan tetapi, disadari ataupun tidak, alkohol justru banyak memberi efek negatif dalam dunia sepak bola. Biasanya fans yang mabuk sulit untuk mengontrol diri. Yang paling sering terjadi dalam kondisi ini adalah ucapan yang keluar seringkali memancing amarah dari suporter lawan. Dari sini timbullah perkelahian yang dalam waktu sekejap merembet pada perusakan fasilitas umum. Statistik menjadi bukti bahwa kebanyakan hooligan mengonsumsi alkohol. Pada tahun 2008/2009, total pihak kepolisian Inggris dan Wales menangkap 3.752 perusuh dalam pertandingan sepak bola, baik pertandingan domestik maupun pertandingan internasional, dari total 37 juta penonton yang menyaksikan langsung pertandingan. Sebanyak 354 orang yang ditangkap karena kerusuhan, dan sebagian besar dari mereka dibawah pengaruh alkohol. Manchester United menjadi “penyumbang” suporter terbanyak yang ditangkap oleh pihak kepolisian dengan jumlah 185 orang. Disusul Newcastle United dengan 144 orang, dan diperingkat ketiga adalah Everton dengan jumlah 139 orang.[3] Itu menunjukkan berapa kuatnya alkohol sebagai motor penggerak kerusuhan dalam sepak bola. Parahnya lagi, orang-orang Britania Raya banyak mengonsumsi alkohol sepanjang pertandingan. Wajar jika negara-negara ini menjadi “penyumbang” hooligan terbanyak.

Banyak orang mengatakan bahwa akan sangat sulit untuk merubah sebuah tradisi. Begitu pula dengan bir dan suporter, utamanya di Eropa. Apabila diibaratkan, kehadiran bir dalam sebuah pertandingan sepak bola sama dengan kehadiran bola dilapangan saat dilakukannya pertandingan sepak bola. Jadi, pasti bakal ada yang kurang apabila bir tidak menemani mereka. Saya lebih senang melihat fenomena ini sebagai sebuah “bumbu” dalam sepak bola yang kadang-kadang menjadi bahan yang sangat menarik untuk dibahas. Kerusuhan yang terjadi dalam sepak bola, menurut saya lebih tergantung pada bagaimana sifat suporter tersebut sebagai individu. Apabila kita lihat dari statistik, masih banyak fans yang bisa menjaga ketertiban. So, sepak bola tidak melulu identik denga kerusuhan. Sepak bola tetap akan menjadi hal yang semakin menarik dengan sejuta daya tariknya.

[1] Swiss Police Write to Soccer Hooligan. Sumber http://www.businessday.com.au/sport/swiss-police-write-to-soccer-hooligans-20080605-2me7.html

[2] Dikutip dari http://www.germanbeerinstitute.com/

[3] Dikutip dari http://www.politics.co.uk/reference/football-hooliganism