![]() |
Sumber: http://www.lpmdinamika.co |
Sudah lama saya tidak menulis diblog.
Akhir-akhir ini, semua tulisan saya hanya tertuang pada tugas akhir saja, yang
pada akhirnya berakhir juga (banyak kali kata akhir-nya yak). Kali ini saya
tertarik untuk menanggapi tentang fenomena media sosial yang beberapa waktu
lalu happening. Tagar #ShameOnYouSBY begitu ramai di media twiter. Selama dua
hari tagar tersebut mendapatkan predikat sebagai Trending Topic World Wide
(TTWW).
Pengguna twitter di negeri ini tentu
saja sudah tidak asing lagi dengan predikat TTWW. Maklum saja, Indonesia,
khususnya Jakarta merupakan salah satu “importir” twit terbesar sejagat. Paling
sering predikat TTWW didapatkan pengguna twitter negeri ini kalo sedang
berlangsung ajang pencarian bakat, tentunya anda akan tahu acara apa yang saya
maksud. Tapi, kali ini predikat TTWW yang didapatkan sedikit berbeda. Berbeda
karena yang tertera dalam tagar bukan merupakan nama salah satu kontestan dalam
ajang pencarian bakat, melainkan merupakan inisial dari pemimpin negara kita.
Menjadi TTWW selama lebih dari 24 jam
(setahu saya) bukanlah hal yang lumrah di twitter. Apalagi TTWW tersebut
berasal dari negara kita. Akan tetapi, apabila dilihat dari permasalahan yang
menjadi latar belakang munculnya tagar #ShameOnSBY maka hal tersebut bisa
dikatakan wajar. Secara garis besar, tagar tersebut muncul sebagai wujud dari
kekecewaan sebagian besar rakyat (terutama di media sosial) tentang tata cara
pemilihan kepala daerah yang baru. Sebagian besar beranggapan bahwa pemilihan
kepala daerah yang selanjutnya tidak diadakan secara langsung, melainkan
melalui anggota DPRD baik tingkat provinsi dan kabupaten, merupakan kemunduran
dari perjalanan pelaksanaan demokrasi di negeri ini.
Salah satu yang menjadi alasan utama
dari dipilihnya opsi ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan
langsung yang telah 10 tahun dilaksanakan memakan banyak sekali biaya.
Penggunaan biaya yang begitu besar kemudian menjadi salah satu faktor utama
terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh banyak kepala daerah.
Memang benar, hal-hal tersebut merupakan salah satu kelemahan yang sampai saat
ini masih terjadi dalam praktek demokrasi di negara ini. Akan tetapi, bukankah
salah satu esensi dari demokrasi adalah proses? Apalagi, sistem demokrasi yang
diterapkan di negara ini bisa dikatakan radikal, dalam artian perubahan dari
totaliter-terpusat jaman orde baru menjadi demokrasi-otonomi daerah di jaman
reformasi.
Selama 10 tahun ini Indonesia telah
berproses. Dengan segala kekurangan yang masih dimiliki, akan tetapi, menurut
pendapat saya, negara ini telah menunjukkan progres positif. Terlepas dari
masih banyaknya kepala daerah hasil pilkada langsung yang terjerat kasus
korupsi, pilkada langsung juga telah memunculkan pemimpin-pemimpin daerah yang
terbukti bersih, kredibel, inovatif dan membawa perubahan di daerahnya. Lihat
saja Surakarta, Surabaya, Banyuwangi, Belitung Timur, Bandung dan beberapa
daerah lainnya. Di wilayah tersebut, kepala darah yang dipilih langsung
terbukti telah memberikan banyak gebrakan positif dan perubahan positif.
Lantas mengapa progress positif yang
telah diraih kemudian malah mencoba dihambat oleh koalisi merah putih (KMP)
dengan jalan merubah pemilihan kepala daerah melalui DPRD? Banyak yang
mengatakan bahwa hal ini dilakukan KMP sebagai “balasan” dari kekalahan calon
presiden yang mereka usung dalam pemilihan presiden lalu. Gemuknya koalisi
oposisi ini di parlemen memudahkan mereka meloloskan berbagai agenda yang telah
direncanakan, salah satunya UU Pilkada. Oposisi itu sehat, asal sesuai dengan “dosis”.
Harapan saya, oposisi yang berada di parlemen tetap menempatkan kepentingan
rakyat banyak daripada kepentingan koalisi saja.
Kembali lagi pada soal tagar
#ShameOnSBY. Kebanyakan orang tidak ada hentinya menghujat beliau, bahkan saya
pun juga berkicau dengan mencantumkan tagar serupa di medsos. Wajar apabila
beliau dihujat. Sebagai presiden, sebenarnya beliau memiliki kewenangan untuk
mencegah UU Pilkada ini tidak disahkan, yaitu dengan cara menarik rancangan UU
yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada DPR. Akan tetapi, saat itu
beliau memilih untuk diam, dan tetap meloloskan RUU tersebut untuk kemudian
diproses di DPR. Walaupun pada akhirnya beliau juga menyatakan “keprihatinan”
atas disahkannya UU Pilkada dan dibarengi dengan mengajukan Perpu pilkada, akan
tetapi semua sudah terlambat. Banyak orang beranggapan bahwa pada akhir masa
jabatannya beliau justru mengkhianati reformasi dengan mencoba menghambat
proses demokrasi yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun di negeri ini.
Akan tetapi menurut saya, beliau bukan
satu-satunya orang yang harus dikambing hitamkan. Kita semua harusnya juga
berkaca pada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita telah menyumbangkan
pemikiran, gagasan dan solusi untuk kemajuan demokrasi? Atau minimal apakah selama
ini kita telah berperan aktif dalam proses demokrasi? Mencoblos bagi yang telah
memenuhi syarat, misalnya. Sudahkan kita melakukan hal-hal tersebut? Atau jangan-jangan
banyak dari kita yang hanya acuh terhadap demokrasi? Hanya bisa mengkritik,
menggerutu menghujat dan menyalahkan kelompok tertentu saja?
Banyak dari kita yang menolak keras
dilakukannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Banyak dari mereka bilang bahwa
salah satu hak paling utama mereka sebagai warga negara dirampas. Akan tetapi
apakah selama ini mereka menggunakan hak yang dimiliki dengan baik? Apakah
selama ini mereka menyalurkan suaranya dengan benar dan sesuai dengan
peraturan? Atau jangan-jangan, banyak diantara kelompok ini yang justru
membuang percuma hak suara yang dimilikinya? Bukankah dengan memilih untuk
menjadi golongan putih menjadikan kemungkinan penyalahgunaan suara akan semakin
besar? Bukankah dengan menjadi golongan putih hanya akan membawa stagnasi pada
proses demokrasi?
Akan lebih baik apabila hak yang kita
miliki dimanfaatkan dengan baik. Begitu juga dengan kewajiban negara, harus
memberikan pelayanan (dalam bentuk apapun itu, sesuai dengan kewajiban) terbaik
kepada warga negaranya. Apabila masih terjadi kekurangan jangan hanya menghujat
dan kemudian apatis. Justru di era demokrasi seperti ini kita harus berperan
aktif dalam proses pelaksanaannya. Jangan hanya lantang bersuara keras dengan
menuliskan tagar #ShameOnSBY saja. Ada baiknya anda juga lantang bersuara,
bercermin dan bertanya pada diri anda sendiri sembari menggunakan tagar #ShameOnYou.
No comments:
Post a Comment