![]() |
Langsung Jaya |
![]() |
Nama bisnya keren, Rukun Sayur |
![]() |
Gaya Putra |
Sore itu saya begitu takut. Diantarkan oleh Pakdhe, sesekali
meringis menahan sakit pada pergelangan tangan kanan saya. Ketika salah satu
dokter tulang di RS dr. Oen memeriksa tangan saya, ketakutan itu pun semakin
menjadi-jadi.
“kenapa kok tangannya bengkak begini?” Tanya pak dokter yang
badannya (sangat) gempal.
“tadi pagi saya jatuh pas ikut olahraga pak” jawab saya.
Beberapa saat kemudian, pak dokter dengan seksama memeriksa
tangan saya. Sebelumnya saya juga telah dirontgen untuk mengetahui kondisi
pasti dari pergelangan tangan saya tersebut.
“kalau dilihat dari hasil rontgen, ada dua pilihan untuk
penanganan tangan anda. Yang pertama melalui operasi, atau bisa hanya
menggunakan gips saja”.
Sontak muka saya langsung pucat. Kata operasi terdengar
begitu menakutkan bagi saya. Kalau disuruh memilih tentu saja menggunakan gips
akan menjadi pilihan utama saya. Tetapi, ketika itu pakdhe meminta pertimbangan
dahulu kepada dokter. Setelah beberapa saat berkonsultasi, akhirnya diputuskan
saya tidak perlu operasi, cukup menggunakan gips saja.
Plooong. Itulah perasaan saya ketika keputusan untuk operasi
ditanggalkan, dokter menyarankan untuk menggunakan gips saja. Sesaat saya
merasa bahwa perawatan telah berkahir sampai disitu saja, yang dibutuhkan hanya
memakai gips saja. Dokter juga sudah menyiapkan peralatan untuk gips yang akan
saya pakai. Sampai pada akhirnya pak dokter mengajak ngobrol dengan saya.
“kelas berapa sekarang?” sambil memegangi pergelangan tangan
saya.
“kelas satu SMP pak” jawab saya.
“sekolahnya dimana?” sambil tetap memegangi tangan saya, seperti
mencari sebuah titik. Entah apa itu.
“sekolah di…..”
Kreeeeek…. Belum selesai saya menjawab pertanyaan pak dokter,
secara tiba-tiba dia menarik pergelangan tangan saya. Dia mengembalikan posisi pergelangan
tangan saya seperti semula. Ternyata dialog singkat tadi hanyalah pengalihan
saja. Tanpa saya sadari, dibagian yang saya kira sudah “aman”, justru menjadi
bagian yang paling menyakitkan dalam proses penanganan cidera pada tangan saya.
Cerita diatas adalah awal mula saya menjadi seorang “bismania”.
Bismania disini bukan bermaksud menjadi seorang yang maniac terhadap bis. Akan tetapi
sejak saat memakai gips di pergelangan tangan, saya akhirnya menggunakan moda
transportasi bis untuk berangkat ke sekolah ketika duduk di bangku SMP. Sebelumnya
setiap hari saya menggunkan sepeda, akan tetapi karena harus mengenakan gips,
maka bis menjadi pilihan yang lebih tepat. Sebenarnya ada pilihan selain
menggunakan bis, yaitu angkot. Akan tetapi entah kenapa, saya tidak menyukainya.
Terlalu kecil dan sangat sempit. Itulah dua alasan mengapa saya tidak terlalu
tertarik dengan angkot.
Kebiasaan naik bis ini kemudian berlanjut hingga tiga tahun
lamanya. Meskipun tidak setiap hari, akan tetapi intensitasnya masih sering. Padahal
apabila dilogika, berangkat menggunakan bis ini sebenarnya tidak sepenuhnya
pilihan yang bijak. Pertama, jarak antara pool bis dengan sekolah (pool bis ini
popular disebut sebagai pemberhentian “mesjid”) cukup jauh apabila dibandingkan
dengan pool angkot. Kedua, saya harus mengeluarkan dana lebih untuk transport. Berbeda
apabila saya menggunakan sepeda, gratis. Bahkan seringkali saya malah mendapt “konsumsi”
dari pakdhe saya, tempat dimana saya menitipkan sepeda apabila ke sekolah.
Akan tetapi ada hal lain yang tidak didapatkan apabila saya
memilih menggunakan sepeda atau bahkan angkot. KEBERSAMAAN. Ya, itulah motivasi
utama saya menjadi seorang bismania. Dikelas, saya memiliki banyak teman yang
berasal dari “lereng gunung” yang tiap hari menggunakan bis untuk berangkat ke
sekolah. Kebersamaan yang kami jalin dari menjadi seorang bismania ini hingga saat
ini menjadi perekat hubungan pertemanan kami. Dari menjadi bismania ini pula
banyak sekali kenangan lucu, konyol dan bahkan bodoh yang hingga saat ini
selalu menjadi bahan perbincangan ketika kita berkumpul.
Gak mbayar (tidak membayar). Tidak terpuji
memang. Akan tetapi, hal tersebut beberapa kali kami lakukan. Meskipun kala itu
ongkos naik bis untuk pelajar “hanya” Rp. 500 saja, akan tetapi apabila salah
satu diantara kami berhasil “lolos” dari kondektur, hal tersebut menjadi kebanggan
tersendiri. Biasanya, saking ramainya penumpang di dalam bis, sesekali sang
kondektur “luput narik” ongkos dari kita. Ada satu tips untuk menghindar dari
kondektur, caranya simple sekali. Ketika anda naik bis dari belakang, biasanya
ketika bis penuh oleh pelajar, anda bisa bergerak perlahan ke bagian depan bis.
Dengan melakukan itu, kemungkinan untuk bisa naik bis gratis bisa terwujud.
Memilih bis yang akan dinaiki. Ada beberapa kriteria bis yang
menjadi pilihan kami. Pertama, bis tersebut harus cepat. Bis yang kami naiki
tidak semuanya cepat, ada beberapa bis yang jalannya santai. Bagi kami, bis
yang demikian tidaklah keren. Begenk dan Zere' merupakan dua bis yang kami beri predikat sebagai bis cepat. Kedua, bis tersebut harus bagus. Tidak semua bis
yang kita naiki memiliki tampilan yang bagus. Beberapa bis yang kala itu bagian
interiornya telah dirubah, atau bisa dikatakan dimodifikasi. Beberapa bis telah
menggunakan interior yang dilengkapi dengan tv-vcd dan jok yang bagus. Walaupun
seringkali music yang diputar dangdut atau campursari, paling tidak hal
tersebut merupakan nilai tambah tersendiri dari bis tersebut.
Janjian naik bis yang sama. Ketika masih SMP, banyak dari
kita yang belum menggunakan handphone.
Jadi, kalau ingin berangkat bareng, sehari sebelumnya kita harus janjian
terlebih dahulu.
I: “Sesuk numpak opo penake?”
F: “Rada awan wae, numpak Rukun nek ra Asereje”
I: “Yo, nek sesuk aku rung ana tinggalen wae rapopo”
Yah, kurang lebih seperti itulah percakapan yang kami lakukan
sehari sebelumnya. Mungkin dulu hal ini terlihat biasa saja, akan tetapi
apabila sekarang dipikir-pikir lagi, hal tersebut cukup unik.
Hafal plat nomer bis dan jadwal keberangkatannya. Mungkin ini
sudah jamak terjadi pada penumpang regular bis. Begitu juga bagi kami. Sesekali
kami menyebut bis tidak berdasarkan nama PO bis tersebut, akan tetapi
berdasarkan plat nomernya. Kita menggunakan plat nomer ini menirukan istilah
yang sering digunakan oleh sang kondektur. Biasanya sebuah bis disebut
berdasarkan dua nomer belakang dari empat nomer yang berada di plat bis
tersebut. Misalnya momer platnya AD 5679 F, maka bis tersebut biasa disebut
dengan “79”. Pun dengan jam keberangkatannya. Kita sampai hafal apabila menggunakan
bis tertentu kita telat sampai di sekolah. Bahkan tanpa melihat jam sekalipun.
Pool bus yang penuh dengan kenangan. Untuk urusan “nyegat bis”
ketika pulang sekolah, kita memiliki dua opsi. Yang pertama daerahnya biasa
disebut dengan “DPR”. Disebut demikian karena letaknya berdekatan dengan gedung
DPRD. Jaraknya dari sekolah tidak terlalu jauh, mungkin 300-400 meter. Akan tetapi
dari jarak tersebut kami memiliki banyak sekali kenangan yang sampai kapanpun
akan menarik untuk kembali diulas. Mulai dari tindakan jahil “tragedi parkiran
sepeda”, nyolong pepaya, makan tahu kupat, bersembunyi di parit ketika membolos
dan masih banyak hal bodoh lainnya yang kami lakukan bersama.
Tempat kedua sering disebut dengan nama “gadean” (dari kata
pegadaian). Dibandingkan dengan DPR, gadean ini letaknya lebih jauh lagi. Mungkin
lebih dari 1km dari sekolah. Kami tidak sering menunggu bis disana. Biasanya hanya
kesana apabila ingin membeli mie ayam. Dulu, di gadean terdapat warung mie ayam
yang lumayan enak. Ditambah lagi harganya sangat murah. Kalau tidak salah satu
porsi dihargai Rp, 1.500 saja. Pertimbangan lain mengapa kami menunggu bis di
gadean mungkin karena ingin mencari suasana yang berbeda saja. Seingat saya
begitu sih.
Semua kebiasaan tersebut praktis tidak kita lakukan lagi
setelah duduk di bangku SMA. Beberapa dari kami berbeda sekolah. Beberapa lagi
sudah mulai menggunakan motor, termasuk salah satunya saya. Sekarang setelah sekian
lama, rasa-rasanya kok saya pengen nostalgia lagi. Kalau hanya sekedar naik bis
saja saya masih sering melakukannya. Akan tetapi biasanya saya naik bis
sendiri, tidak bareng dengan teman-teman. Tentunya tidak harus naik bis ke
sekolah, tapi paling tidak kita bersama-sama naik bis.
Nah, dari keinginan ini tiba-tiba muncul sebuah ide menarik
yang mungkin dalam waktu dekat bisa kita lakukan bersama. Sebentar lagi lebaran
tiba, tentu saja banyak dari kami yang pulang ke rumah. Bagaimana kalau kita
nanti “ngebis bareng”?. Kalau dulu jalur kita dari timur ke barat, kali ini
kita ganti menjadi dari barat ke timur. Atau dengan arti lain dari Karanganyar
ke TW. Jalur ini menjadi jalur paling memungkinkan bagi kita untuk bisa ngebis
bareng.
Scenario awalnya, nanti saya akan naik dari Bejen,
selanjutnya semakin ke atas kalian akan bergabung. Kita janjian naik bis yang
sama, sekarang janjian sudah semakin mudah. Tinggal sms atau chatting saja bis
apa yang saya naiki. Selanjutnya pemberhentian terakhir kita adalah di TW. Terserah
nanti acara selanjutnya apa, yang penting kita bisa sesaat bernostalgia ngebis
bareng. Kalau hanya jalan bareng menggunakan kendaraan pribadi, kita sudah sering
melakukan. Tapi apabila menggunakan bis, mungkin ini bisa menjadi pengalaman
baru bagi kita. Siapa tau nanti diantara kita ada yang gak bayar.
Persahabatan yang kuat tidak hanya didasari pada, kesamaan
hobi, pertemanan yang lama atau bahkan berdasar pada materi semata. Terkadang hal-hal
sepele bisa menjadi perekat kuat dalam suatu persahabatan. Bagi kami, inilah
salah satu pengikat persahabatan kami. BIS…
=)
ReplyDelete