Thursday, October 23, 2014

#ShameOnYouSBY atau #ShameOnYou, Mana yang Lebih Tepat?


Sumber: http://www.lpmdinamika.co
Sudah lama saya tidak menulis diblog. Akhir-akhir ini, semua tulisan saya hanya tertuang pada tugas akhir saja, yang pada akhirnya berakhir juga (banyak kali kata akhir-nya yak). Kali ini saya tertarik untuk menanggapi tentang fenomena media sosial yang beberapa waktu lalu happening. Tagar #ShameOnYouSBY begitu ramai di media twiter. Selama dua hari tagar tersebut mendapatkan predikat sebagai Trending Topic World Wide (TTWW).

Pengguna twitter di negeri ini tentu saja sudah tidak asing lagi dengan predikat TTWW. Maklum saja, Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu “importir” twit terbesar sejagat. Paling sering predikat TTWW didapatkan pengguna twitter negeri ini kalo sedang berlangsung ajang pencarian bakat, tentunya anda akan tahu acara apa yang saya maksud. Tapi, kali ini predikat TTWW yang didapatkan sedikit berbeda. Berbeda karena yang tertera dalam tagar bukan merupakan nama salah satu kontestan dalam ajang pencarian bakat, melainkan merupakan inisial dari pemimpin negara kita.

Menjadi TTWW selama lebih dari 24 jam (setahu saya) bukanlah hal yang lumrah di twitter. Apalagi TTWW tersebut berasal dari negara kita. Akan tetapi, apabila dilihat dari permasalahan yang menjadi latar belakang munculnya tagar #ShameOnSBY maka hal tersebut bisa dikatakan wajar. Secara garis besar, tagar tersebut muncul sebagai wujud dari kekecewaan sebagian besar rakyat (terutama di media sosial) tentang tata cara pemilihan kepala daerah yang baru. Sebagian besar beranggapan bahwa pemilihan kepala daerah yang selanjutnya tidak diadakan secara langsung, melainkan melalui anggota DPRD baik tingkat provinsi dan kabupaten, merupakan kemunduran dari perjalanan pelaksanaan demokrasi di negeri ini.

Salah satu yang menjadi alasan utama dari dipilihnya opsi ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa pemilihan langsung yang telah 10 tahun dilaksanakan memakan banyak sekali biaya. Penggunaan biaya yang begitu besar kemudian menjadi salah satu faktor utama terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh banyak kepala daerah. Memang benar, hal-hal tersebut merupakan salah satu kelemahan yang sampai saat ini masih terjadi dalam praktek demokrasi di negara ini. Akan tetapi, bukankah salah satu esensi dari demokrasi adalah proses? Apalagi, sistem demokrasi yang diterapkan di negara ini bisa dikatakan radikal, dalam artian perubahan dari totaliter-terpusat jaman orde baru menjadi demokrasi-otonomi daerah di jaman reformasi.

Selama 10 tahun ini Indonesia telah berproses. Dengan segala kekurangan yang masih dimiliki, akan tetapi, menurut pendapat saya, negara ini telah menunjukkan progres positif. Terlepas dari masih banyaknya kepala daerah hasil pilkada langsung yang terjerat kasus korupsi, pilkada langsung juga telah memunculkan pemimpin-pemimpin daerah yang terbukti bersih, kredibel, inovatif dan membawa perubahan di daerahnya. Lihat saja Surakarta, Surabaya, Banyuwangi, Belitung Timur, Bandung dan beberapa daerah lainnya. Di wilayah tersebut, kepala darah yang dipilih langsung terbukti telah memberikan banyak gebrakan positif dan perubahan positif.

Lantas mengapa progress positif yang telah diraih kemudian malah mencoba dihambat oleh koalisi merah putih (KMP) dengan jalan merubah pemilihan kepala daerah melalui DPRD? Banyak yang mengatakan bahwa hal ini dilakukan KMP sebagai “balasan” dari kekalahan calon presiden yang mereka usung dalam pemilihan presiden lalu. Gemuknya koalisi oposisi ini di parlemen memudahkan mereka meloloskan berbagai agenda yang telah direncanakan, salah satunya UU Pilkada. Oposisi itu sehat, asal sesuai dengan “dosis”. Harapan saya, oposisi yang berada di parlemen tetap menempatkan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan koalisi saja.

Kembali lagi pada soal tagar #ShameOnSBY. Kebanyakan orang tidak ada hentinya menghujat beliau, bahkan saya pun juga berkicau dengan mencantumkan tagar serupa di medsos. Wajar apabila beliau dihujat. Sebagai presiden, sebenarnya beliau memiliki kewenangan untuk mencegah UU Pilkada ini tidak disahkan, yaitu dengan cara menarik rancangan UU yang diajukan oleh Kementerian Dalam Negeri kepada DPR. Akan tetapi, saat itu beliau memilih untuk diam, dan tetap meloloskan RUU tersebut untuk kemudian diproses di DPR. Walaupun pada akhirnya beliau juga menyatakan “keprihatinan” atas disahkannya UU Pilkada dan dibarengi dengan mengajukan Perpu pilkada, akan tetapi semua sudah terlambat. Banyak orang beranggapan bahwa pada akhir masa jabatannya beliau justru mengkhianati reformasi dengan mencoba menghambat proses demokrasi yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun di negeri ini.

Akan tetapi menurut saya, beliau bukan satu-satunya orang yang harus dikambing hitamkan. Kita semua harusnya juga berkaca pada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita telah menyumbangkan pemikiran, gagasan dan solusi untuk kemajuan demokrasi? Atau minimal apakah selama ini kita telah berperan aktif dalam proses demokrasi? Mencoblos bagi yang telah memenuhi syarat, misalnya. Sudahkan kita melakukan hal-hal tersebut? Atau jangan-jangan banyak dari kita yang hanya acuh terhadap demokrasi? Hanya bisa mengkritik, menggerutu menghujat dan menyalahkan kelompok tertentu saja?

Banyak dari kita yang menolak keras dilakukannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Banyak dari mereka bilang bahwa salah satu hak paling utama mereka sebagai warga negara dirampas. Akan tetapi apakah selama ini mereka menggunakan hak yang dimiliki dengan baik? Apakah selama ini mereka menyalurkan suaranya dengan benar dan sesuai dengan peraturan? Atau jangan-jangan, banyak diantara kelompok ini yang justru membuang percuma hak suara yang dimilikinya? Bukankah dengan memilih untuk menjadi golongan putih menjadikan kemungkinan penyalahgunaan suara akan semakin besar? Bukankah dengan menjadi golongan putih hanya akan membawa stagnasi pada proses demokrasi?

Akan lebih baik apabila hak yang kita miliki dimanfaatkan dengan baik. Begitu juga dengan kewajiban negara, harus memberikan pelayanan (dalam bentuk apapun itu, sesuai dengan kewajiban) terbaik kepada warga negaranya. Apabila masih terjadi kekurangan jangan hanya menghujat dan kemudian apatis. Justru di era demokrasi seperti ini kita harus berperan aktif dalam proses pelaksanaannya. Jangan hanya lantang bersuara keras dengan menuliskan tagar #ShameOnSBY saja. Ada baiknya anda juga lantang bersuara, bercermin dan bertanya pada diri anda sendiri sembari menggunakan tagar #ShameOnYou.

Friday, May 23, 2014

Rinduku Padamu: Bis Sekolah

Langsung Jaya
Nama bisnya keren, Rukun Sayur
Gaya Putra

Sore itu saya begitu takut. Diantarkan oleh Pakdhe, sesekali meringis menahan sakit pada pergelangan tangan kanan saya. Ketika salah satu dokter tulang di RS dr. Oen memeriksa tangan saya, ketakutan itu pun semakin menjadi-jadi.
“kenapa kok tangannya bengkak begini?” Tanya pak dokter yang badannya (sangat) gempal.
“tadi pagi saya jatuh pas ikut olahraga pak” jawab saya.

Beberapa saat kemudian, pak dokter dengan seksama memeriksa tangan saya. Sebelumnya saya juga telah dirontgen untuk mengetahui kondisi pasti dari pergelangan tangan saya tersebut.
“kalau dilihat dari hasil rontgen, ada dua pilihan untuk penanganan tangan anda. Yang pertama melalui operasi, atau bisa hanya menggunakan gips saja”.

Sontak muka saya langsung pucat. Kata operasi terdengar begitu menakutkan bagi saya. Kalau disuruh memilih tentu saja menggunakan gips akan menjadi pilihan utama saya. Tetapi, ketika itu pakdhe meminta pertimbangan dahulu kepada dokter. Setelah beberapa saat berkonsultasi, akhirnya diputuskan saya tidak perlu operasi, cukup menggunakan gips saja.

Plooong. Itulah perasaan saya ketika keputusan untuk operasi ditanggalkan, dokter menyarankan untuk menggunakan gips saja. Sesaat saya merasa bahwa perawatan telah berkahir sampai disitu saja, yang dibutuhkan hanya memakai gips saja. Dokter juga sudah menyiapkan peralatan untuk gips yang akan saya pakai. Sampai pada akhirnya pak dokter mengajak ngobrol dengan saya.
“kelas berapa sekarang?” sambil memegangi pergelangan tangan saya.
“kelas satu SMP pak” jawab saya.
“sekolahnya dimana?” sambil tetap memegangi tangan saya, seperti mencari sebuah titik. Entah apa itu.
“sekolah di…..”

Kreeeeek…. Belum selesai saya menjawab pertanyaan pak dokter, secara tiba-tiba dia menarik pergelangan tangan saya. Dia mengembalikan posisi pergelangan tangan saya seperti semula. Ternyata dialog singkat tadi hanyalah pengalihan saja. Tanpa saya sadari, dibagian yang saya kira sudah “aman”, justru menjadi bagian yang paling menyakitkan dalam proses penanganan cidera pada tangan saya.

Cerita diatas adalah awal mula saya menjadi seorang “bismania”. Bismania disini bukan bermaksud menjadi seorang yang maniac terhadap bis. Akan tetapi sejak saat memakai gips di pergelangan tangan, saya akhirnya menggunakan moda transportasi bis untuk berangkat ke sekolah ketika duduk di bangku SMP. Sebelumnya setiap hari saya menggunkan sepeda, akan tetapi karena harus mengenakan gips, maka bis menjadi pilihan yang lebih tepat. Sebenarnya ada pilihan selain menggunakan bis, yaitu angkot. Akan tetapi entah kenapa, saya tidak menyukainya. Terlalu kecil dan sangat sempit. Itulah dua alasan mengapa saya tidak terlalu tertarik dengan angkot.

Kebiasaan naik bis ini kemudian berlanjut hingga tiga tahun lamanya. Meskipun tidak setiap hari, akan tetapi intensitasnya masih sering. Padahal apabila dilogika, berangkat menggunakan bis ini sebenarnya tidak sepenuhnya pilihan yang bijak. Pertama, jarak antara pool bis dengan sekolah (pool bis ini popular disebut sebagai pemberhentian “mesjid”) cukup jauh apabila dibandingkan dengan pool angkot. Kedua, saya harus mengeluarkan dana lebih untuk transport. Berbeda apabila saya menggunakan sepeda, gratis. Bahkan seringkali saya malah mendapt “konsumsi” dari pakdhe saya, tempat dimana saya menitipkan sepeda apabila ke sekolah.

Akan tetapi ada hal lain yang tidak didapatkan apabila saya memilih menggunakan sepeda atau bahkan angkot. KEBERSAMAAN. Ya, itulah motivasi utama saya menjadi seorang bismania. Dikelas, saya memiliki banyak teman yang berasal dari “lereng gunung” yang tiap hari menggunakan bis untuk berangkat ke sekolah. Kebersamaan yang kami jalin dari menjadi seorang bismania ini hingga saat ini menjadi perekat hubungan pertemanan kami. Dari menjadi bismania ini pula banyak sekali kenangan lucu, konyol dan bahkan bodoh yang hingga saat ini selalu menjadi bahan perbincangan ketika kita berkumpul.

Gak mbayar (tidak membayar). Tidak terpuji memang. Akan tetapi, hal tersebut beberapa kali kami lakukan. Meskipun kala itu ongkos naik bis untuk pelajar “hanya” Rp. 500 saja, akan tetapi apabila salah satu diantara kami berhasil “lolos” dari kondektur, hal tersebut menjadi kebanggan tersendiri. Biasanya, saking ramainya penumpang di dalam bis, sesekali sang kondektur “luput narik” ongkos dari kita. Ada satu tips untuk menghindar dari kondektur, caranya simple sekali. Ketika anda naik bis dari belakang, biasanya ketika bis penuh oleh pelajar, anda bisa bergerak perlahan ke bagian depan bis. Dengan melakukan itu, kemungkinan untuk bisa naik bis gratis bisa terwujud.

Memilih bis yang akan dinaiki. Ada beberapa kriteria bis yang menjadi pilihan kami. Pertama, bis tersebut harus cepat. Bis yang kami naiki tidak semuanya cepat, ada beberapa bis yang jalannya santai. Bagi kami, bis yang demikian tidaklah keren. Begenk dan Zere' merupakan dua bis yang kami beri predikat sebagai bis cepat. Kedua, bis tersebut harus bagus. Tidak semua bis yang kita naiki memiliki tampilan yang bagus. Beberapa bis yang kala itu bagian interiornya telah dirubah, atau bisa dikatakan dimodifikasi. Beberapa bis telah menggunakan interior yang dilengkapi dengan tv-vcd dan jok yang bagus. Walaupun seringkali music yang diputar dangdut atau campursari, paling tidak hal tersebut merupakan nilai tambah tersendiri dari bis tersebut.


Janjian naik bis yang sama. Ketika masih SMP, banyak dari kita yang belum menggunakan handphone. Jadi, kalau ingin berangkat bareng, sehari sebelumnya kita harus janjian terlebih dahulu.
I: “Sesuk numpak opo penake?”
F: “Rada awan wae, numpak Rukun nek ra Asereje”
I: “Yo, nek sesuk aku rung ana tinggalen wae rapopo”
Yah, kurang lebih seperti itulah percakapan yang kami lakukan sehari sebelumnya. Mungkin dulu hal ini terlihat biasa saja, akan tetapi apabila sekarang dipikir-pikir lagi, hal tersebut cukup unik.

Hafal plat nomer bis dan jadwal keberangkatannya. Mungkin ini sudah jamak terjadi pada penumpang regular bis. Begitu juga bagi kami. Sesekali kami menyebut bis tidak berdasarkan nama PO bis tersebut, akan tetapi berdasarkan plat nomernya. Kita menggunakan plat nomer ini menirukan istilah yang sering digunakan oleh sang kondektur. Biasanya sebuah bis disebut berdasarkan dua nomer belakang dari empat nomer yang berada di plat bis tersebut. Misalnya momer platnya AD 5679 F, maka bis tersebut biasa disebut dengan “79”. Pun dengan jam keberangkatannya. Kita sampai hafal apabila menggunakan bis tertentu kita telat sampai di sekolah. Bahkan tanpa melihat jam sekalipun.

Pool bus yang penuh dengan kenangan. Untuk urusan “nyegat bis” ketika pulang sekolah, kita memiliki dua opsi. Yang pertama daerahnya biasa disebut dengan “DPR”. Disebut demikian karena letaknya berdekatan dengan gedung DPRD. Jaraknya dari sekolah tidak terlalu jauh, mungkin 300-400 meter. Akan tetapi dari jarak tersebut kami memiliki banyak sekali kenangan yang sampai kapanpun akan menarik untuk kembali diulas. Mulai dari tindakan jahil “tragedi parkiran sepeda”, nyolong pepaya, makan tahu kupat, bersembunyi di parit ketika membolos dan masih banyak hal bodoh lainnya yang kami lakukan bersama.

Tempat kedua sering disebut dengan nama “gadean” (dari kata pegadaian). Dibandingkan dengan DPR, gadean ini letaknya lebih jauh lagi. Mungkin lebih dari 1km dari sekolah. Kami tidak sering menunggu bis disana. Biasanya hanya kesana apabila ingin membeli mie ayam. Dulu, di gadean terdapat warung mie ayam yang lumayan enak. Ditambah lagi harganya sangat murah. Kalau tidak salah satu porsi dihargai Rp, 1.500 saja. Pertimbangan lain mengapa kami menunggu bis di gadean mungkin karena ingin mencari suasana yang berbeda saja. Seingat saya begitu sih.

Semua kebiasaan tersebut praktis tidak kita lakukan lagi setelah duduk di bangku SMA. Beberapa dari kami berbeda sekolah. Beberapa lagi sudah mulai menggunakan motor, termasuk salah satunya saya. Sekarang setelah sekian lama, rasa-rasanya kok saya pengen nostalgia lagi. Kalau hanya sekedar naik bis saja saya masih sering melakukannya. Akan tetapi biasanya saya naik bis sendiri, tidak bareng dengan teman-teman. Tentunya tidak harus naik bis ke sekolah, tapi paling tidak kita bersama-sama naik bis.

Nah, dari keinginan ini tiba-tiba muncul sebuah ide menarik yang mungkin dalam waktu dekat bisa kita lakukan bersama. Sebentar lagi lebaran tiba, tentu saja banyak dari kami yang pulang ke rumah. Bagaimana kalau kita nanti “ngebis bareng”?. Kalau dulu jalur kita dari timur ke barat, kali ini kita ganti menjadi dari barat ke timur. Atau dengan arti lain dari Karanganyar ke TW. Jalur ini menjadi jalur paling memungkinkan bagi kita untuk bisa ngebis bareng.

Scenario awalnya, nanti saya akan naik dari Bejen, selanjutnya semakin ke atas kalian akan bergabung. Kita janjian naik bis yang sama, sekarang janjian sudah semakin mudah. Tinggal sms atau chatting saja bis apa yang saya naiki. Selanjutnya pemberhentian terakhir kita adalah di TW. Terserah nanti acara selanjutnya apa, yang penting kita bisa sesaat bernostalgia ngebis bareng. Kalau hanya jalan bareng menggunakan kendaraan pribadi, kita sudah sering melakukan. Tapi apabila menggunakan bis, mungkin ini bisa menjadi pengalaman baru bagi kita. Siapa tau nanti diantara kita ada yang gak bayar.

Persahabatan yang kuat tidak hanya didasari pada, kesamaan hobi, pertemanan yang lama atau bahkan berdasar pada materi semata. Terkadang hal-hal sepele bisa menjadi perekat kuat dalam suatu persahabatan. Bagi kami, inilah salah satu pengikat persahabatan kami. BIS…



Terima Kasih Mister Rudi "Record Breakers" Garcia



I remember I went onto the internet and typed in 'Rudi Garcia' and the first thing I saw there was a video of him and his guitar doing the Porompompero. I said to myself, "Who the fuck have we got here?!" I was with the national team that day. I can still see myself with my computer on my lap and this guy with the guitar. I was with Pirlo at the time, I showed him this and said, "Look at who the fuck we've got!" Pirlo didn't know who he was either. Look, I'm not saying that I thought things would go badly. It's just that I didn't know him and the first image I had of him was of a guy playing the guitar. But today, honestly, I thank God that we got “Porompompero” - Daniele De Rossi.

Begitulah reaksi dari DDR ketika pertama kali mengetahui kabar bahwa manajemen Roma menetapkan RG (Rudi Garcia) sebagai pelatih anyar Roma. Apabila seorang capitano futuro saja bereaksi demikian, bagaimana dengan romanisti? Lebih keras lagi pastinya reaksi yang timbul. “Siapa Garcia?”, “Apa yang ia  ketahui tentang Serie A?”, “Apa mungkin dia mampu membawa prestasi bagi Roma?”. Kurang lebih itulah deretan pertanyaan yang mungkin lebih condong pada keraguan terhadap kemampuan dari sosok RG.

Diawal kedatangannya RG langsung “menggebrak”. Salah satunya yang paling diingat adalah ketika dia memberikan “perlindungan” kepada pemainnya. Dia menyatakan bahwa siapapun yang mengaku romanisti tetapi menghina pemain Roma tidak pantas menyebut dirinya seorang romanisti, lebih tepat apabila dia menyebut dirinya seorang Laziale. Hal ini mengacu pada peristiwa penghinaan kepada Miralem Pjanic yang dikatakan sebagai seorang gypsy karena telah memberikan ucapan selamat kepada Lulic, rekan senegara sekaligus pemain Lazio setelah memenangkan Coppa.

Perlindungan. Hal itulah yang sebelumnya tidak didapatkan pemain sejak era Luis Enrique, Zeman atau bahkan Andreazolli. Apa yang dilakukan Garcia ini sekaligus mengembalikan rasa percaya diri pemain yang sempat jatuh karena “tragedy 26 Mei” tahun lalu. Dengan perlindungan ini pula, RG ingin menunjukkan kepada pemain bahwa dia sepenuhnya percaya kepada kemampuan mereka. Bukti paling nyata adalah kepercayaan penuh yang dia berikan kepada seorang Gervinho. Meskipun permainannya belum sepenuhnya maksimal, akan tetapi pencapaian luar biasa Gervinho musim ini adalah berkat andil besar dari RG.

Selebrasi legendaris kemenangan di derby paruh pertama liga
il derby non si gioca, il derby si vince” (partai derby bukan untuk dimainkan, partai derby harus dimenangkan). Kalau boleh memilih, maka saya akan memilih kalimat tersebut sebagai quote of the season dari seorang RG. Dia menyampaikannya sehari sebelum partai derby pada putaran pertama liga. Kalimat yang sangat kuat, sarat makna dan optimisme. Roma pun memenangkan partai tersebut. Bahkan seorang Balzaretti sampai menitihkan air mata ketika mencetak gol pertama Roma ke gawang Lazio. Begitu pun dengan De Rossi. Begitu dalam makna pertandingan derby kala itu bagi para pemain.

Di paruh pertama, RG berhasil mencatatkan rekor baru di Serie A. Roma berhasil meraih sepuluh kemenangan beruntun pada 10 partai awal liga. Sebuah pencapaian yang luar biasa, diluar prediksi semua orang. Tidak ada orang yang bisa membayangkan Roma dibawah asuhan RG mampu melakukan hal tersebut. Tentu saja jika hal ini berkaca pada pencapaian Roma di dua musim sebelumnya. Berturut-turut hanya mampu menempati peringkat ke-7 di akhir klasmen Serie A.

Capaian RG musim ini
Rekor baru yang dicatatkan RG tidak berhenti sampai disitu saja. Roma berhasil meraih 85 poin dari 35 laga di Serie A. RG mencatatkan rekor pribadinya sekaligus menjadi rekor pencapaian poin terbanyak dari klub. Rekor ini memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang oleh Luciano Spalletti (80 poin, 2007-2008) dan Claudio Ranieri (82 poin, 2009-2010). Tiga poin terkahir ini diraih ketika Roma berhasil mengalahkan AC Milan dengan gol 2-0. Pastinya anda akan selalu mengingat gol indah dari seorang Pjanic. Well, apabila no Totti no Party, maka ada juga istilah no Pjanic no Magic.

Terakhir, rekor yang dicatatkan oleh RG di musim perdananya ini adalah diantara laga yang dijalani Roma musim ini (baik di Coppa maupun liga), Roma mampu mengalahkan seluruh tim yang berlaga di Serie A. Pada paruh pertama liga, tim yang belum bisa dikalahkan Roma adalah Torino, Sassuolo, Atalanta, Cagliari, Milan dan Juventus. Pada putaran kedua, seluruhnya bisa dikalahkan. Termasuk Juventus, ketika kedua tim bertemu di ajang Coppa. Secara keseluruhan Roma juga menjadi tim yang paling berkembang dari segi pencapaian poin dibandingkan musim lalu. Poin Roma musim ini meningkat 27 poin debandingkan dengan musim lalu. Tertinggi diantara pencapaian seluruh tim yang berlaga di Serie A. Sekali lagi saya katakana bahwa seluruh pencapaian ini benar-benar diluar dugaan.

Kini musim telah berakhir. Meskipun di tiga laga akhir Roma harus menderita kekalahan beruntun, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi kepuasan atas capaian tim secara keseluruhan. Musim ini Roma bahkan telah melampaui target yang ditetapkan manajemen. Kembali berlaga di kompetisi eropa merupakan target awal yang dicanangkan manajemen. Itu artinya, minimal Roma harus finish di peringkat ke-5 klasmen akhir liga. Akan tetapi RG memberikan lebih dari apa yang diinginkan manajemen. Pada pekan ke-34 Roma telah memastikan diri lolos langsung ke Liga Champion musim depan berkat kemenangan di kandang Fiorentina.

Berkat pencapaiannya musim ini RG menjadi salah satu kandidat pelatih yang diinginkan oleh banyak klub. Mulai dari Monaco, PSG sampai Barcelona dikabarkan tertarik untuk menjadikan RG sebagai manajer baru. Akan tetapi Pakdhe Sabatini tidak tinggal diam saja, dia segera melakukan gerak cepat dengan menyodorkan kontrak baru bagi RG. Melipatgandakan gaji dan menambah durasi kontrak merupakan tawaran yang diberikan kepada RG. “It’s nice to see my name linked to big clubs, it’s the recognition of my work. Roma is one of the toughest teams to coach in Italy. Those rumors don’t change anything, I want to stay - Rudi Garcia. Sudah jelas sekali pernyataan RG kan? Dia masih ingin tinggal di Roma.

The management wants to make Roma one of the best clubs in Europe. You don’t achieve this target in a day, as Rome was not built in a day. But we are going in the right direction - Rudi Garcia. Ya, bahkan kota Roma pun tidak dibangun dalam satu hari. Begitu pula dengan yang terjadi pada AS Roma. Butuh proses panjang untuk kembali membawa kejayaan bagi klub. Akan tetapi, rintisan yang dilakukan manajemen sejak tiga tahun terakhir sudah mulai membuahkan hasil. Saat ini Roma telah berada dijalur yang tepat.

Pertama adalah Roma memiliki tim pelatih yang sudah terbukti kualitasnya. Kedua, kombinasi antara pemain muda penuh potensi dan pemain senior yang kaya akan pengalaman. Memang masih perlu menambah amunisi untuk menghadapi kompetisi eropa musim depan, akan tetapi tidak usah kuatir, kita semua tahu bagaimana kualitas dan kapabilitas seorang Pakdhe Sabatini. Dan yang terakhir adalah manajemen yang mumpuni, berorientasi pada bisnis dan professional. Untuk beberapa tahun kedepan dipastikan pendapatan klub akan semakin meningkat. Apalagi jika pembangunan stadio della Roma rampung, maka pendapatan klub akan semakin berlipat.

Dan untuk penutup maka tidak ada habisnya kita harus mengucapkan terima kasih kepada seorang Rudi Garcia. Kedatangannya membawa banyak sekali perubahan di klub. Semoga apa yang dikatakan presiden James Pallotta bisa terwujud. Dia ingin menjadikan Garcia sebagai Alex Ferguson-Roma. Itu berarti bahwa manajemen menginginkan RG bertahan di Roma dalam jangka waktu yang lama. Dengan apa yang dimiliki Roma saat ini, mulai sekarang kita harus berani mengamini ambisi manajemen klub untuk menjadikan Roma sebagai salah satu klub terbaik di eropa.

Grazie Roma… Grazie Mister Rudi “Record Breakers” Garcia…