Wednesday, March 28, 2012

The Raid (Serbuan Maut)

Dalam beberapa hari terakhir pasti kita semua semakin sering mendengar tentang film ini. Popularitasnya tidak hanya sebatas di tingkat nasional, tetapi juga mampu mencuri perhatian di kancah internasional. Sejak hari pertama ditayangkan pada 23 Maret lalu serentak di seluruh bioskop di Indonesia, beberapa  kota di Amerika Serikat, Amerika Latin, Kanada, Inggris dan Australia, film ini telah menyedot banyak penonton. Tiga hari pertama tayang di Indonesia, hampir seluruh tiketnya sold out. Bahkan sampai hari ini, antrian panjang di depan loket tiket untuk menonton film ini masih terjadi. Sebuah hal yang membanggakan untuk pencapaian film nasional. Salut!!


Saya pribadi sudah mulai penasaran dengan film ini ketika berhasil meraih penghargaan The Cadillac People's Choice Midnight Madness Award di ajang Toronto International Film Festival 2011. Apabila The Raid akhir-akhir ini sering menjadi Trending Topic  Indonesia di jejaring sosial Twitter, hal serupa juga terjadi di Toronto. The Raid menjadi Trending Topic di Toronto setelah penanyangan perdananya. Film ini disamakan dengan film legendaris dari Thailand, Ong Bak. Ditambah lagi, sebelumnya hak distribusi film ini juga telah dibeli oleh Sony Pictures WorldWide Acquisition (SPWA) dari pihak Celluloid Nightmares, sebuah perusahaan penjualan distribusi film rekanan antara Celluloid Dreams asal Paris dengan XYZ Films yang berbasis di Los Angeles. Film yang kala itu masih berada dalam proses perampungan produksi tersebut akhirnya diberi judul baru, yaitu The Raid. Kesepakatan akuisisi hak distribusi tersebut dicapai di acara Marche du Film, Festival Film Cannes 2011. Selain perubahan judul film, scoring film ini juga dirubah terkait dengan produksinya yang skala internesional. Mike Shinoda  dan Joe Trapanese didaulat untuk re-scoring film ini.


Setelah sekian lama menunggu, penasaran saya akhirnya terobati. Kemarin saya menonton film The Raid di Jogja. Hari ke-4, antrian tiket masih tergolong panjang. Animo penonton masih sangat tinggi. Saya salut dengan strategi pemasaran film ini. Sebelumnya saya juga ingat dengan perkataan Gareth Evans sang sutradara. Dia belajar banyak dari film Merantau. Dari segi cerita maupun koreo film ini tidak kalah dengan The Raid. Akan tetapi film ini tidak terlalu banyak menarik animo masyarakat Indonesia waktu tayang pada 2009 lalu. Justru hal sebaliknya didapatkan ketika film ini ikut dalam beberapa festival film Internasional. Nah, belajar dari situ, untuk film The Raid ini strateginya dirubah. Film ini terlebih dahulu dipromosikan ke ajang internasional. Dari pencapaian di ajang internasional tersebut, otomatis di dalam negeri film ini mendapat ekspos yang besar dari media lokal. Hingga tiba akhirnya ketika akan ditayangkan, publik tanah air sudah banyak yang mengetahui mengenai kualitas film ini.


Kembali lagi mengenai kesan saya ketika melihat film The Raid. Saya memiliki beberapa adegan favorit dalam film ini. Yang pertama adalah ketika Rama (Iko Uwais) memulai film ini dengan adegan ibadah sholat subuh yang kemudian dilanjutkan dengan pamit kepada sang istri dan ayah. Ini merupakan suatu kejutan, di bayangan saya kebanyakan SWAT atau pasukan khusus apapun itu, lebih sering menampakkan perilaku yang urakan. Ternyata sisi religius tetap ditampilkan dalam film ini. Setelah itu, praktis kita semua disuguhi adegan yang memacu adrenalin.  Pukulan, tendangan, tembakan, sayatan pisau bahkan parang banyak tersaji dibarengi dengan banyaknya darah yang berceceran.  Dari sisi koreografi, Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan benar-benar menampilkan tontonan bela diri pencak silat yang sangat memukau. Setiap pertarungan yang terjadi selalu menampilkan gerakan yang berbeda. Ditambah lagi, gerakan yang dilakukan juga semakin ekstrim. Satu pesan penting yang saya dapatkan dari film ini. Sampai detik ini, aparat keamanan Indonesia digambarkan belum “bersih”. Beberapa kali dalam film ini terdapat dialog yang pada intinya menyatakan bahwa aparat tidak akan macam-macam dengan mereka. Aparat telah mereka beli, yang kemudian menjadi backingan usaha narkoba mereka.


Jujur saja, yang menurut saya menjadi bintang dalam film ini adalah Tama (Ray Sahetapy) yang menjadi bos mafia dan Mad Dog (Yayan Ruhiyan) yang berperan sebagai tangan kanan sang bos mafia. Dalam film ini, Tama benar-benar sangat fasih memainkan peran sebagai seorang “bajingan”. Pengalaman akting berbicara disini. Dalam beberapa adegan, Tama berhasil membuat saya benar-benar “gemas” dengan sifatnya. Ada kalanya dia serius, sadis, slengekan dan bahkan konyol. Adegan Tama yang menjadi favorit saya adalah ketika dia mengetahui bahwa markasnya telah diserbu oleh pasukan khusus, dan kemudian dia berbicara melalui speaker yang terhubung ke setiap lantai apartemen. “Selamat pagi, mungkin anda sudah mendengar kalau kita kedatangan tamu tak diundang. Selamat bekerja, dan jangan lupa ber…seeenaaang-senaaaaang”. Anjrit!! bener-bener keren waktu Tama mengucapkan pengumuman itu. Suaranya terdengar bengis dan sontak saja, beberapa anggota pasukan khusus ciut nyalinya.


Beda lagi dengan Mad Dog. Di film ini dia tidak terlalu banyak berakting. Hal ini disebabkan karena memang karakter Mad Dog adalah pendiam. Akan tetapi untuk urusan bertarung, saya lebih menyukai Mad Dog daripada Rama. Pertarungan pertamanya dalam film ini adalah melawan sersan Jaka (Joe Taslim). Keudanya sempat dihadapkan saling menodongkan senjata. Pisau kecil di tangan Jaka, dan pistol di tangan Mad Dog. Meskipun “menang” dari segi senjata, Mad Dog tidak serta merta menarik pelatuknya. Dia justru menantang sersan Jaka untuk bertarung dengan tangan kosong, “kalo gini kan ada gregetnya”, kata Mad Dog seraya menaruh pistol yang dia pegang dan mengepalkan kedua tangan untuk menantang Jaka. Karena kalah dari segi postur, beberapa kali Mad Dog sempat dibanting oleh Jaka. Akan tetapi dengan ketangkasannya, dia mampu menghabisi Jaka.


Tidak hanya berhenti sampai disini. Saya dibuat semakin kagum dengan Mad Dog ketika dia bertarung satu lawan dua dengan Rama dan Andi (Doni Alamsyah) yang ternyata selain menjadi tangan kanan Tama juga menjadi kakak dari Rama. Lagi-lagi, dengan perawakannya yang sangat dingin, dia membuka ikatan rantai di tangan Andi. Kemudian dia mempersiapkan Rama dan Andi untuk bertarung melawan dia. Memang pada akhirnya Mad Dog kalah dan mati, akan tetapi untuk membunuhnya pun harus dilakukan dengan susah payah. Bayangkan saja, ketika Andi telah menancapkan pecahan lampu neon ke leher Mad Dog, dia masih sanggup untuk bertarung melawan keduanya. Hingga akhirnya, pecahan neon yang masih menancap di lehernya ditarik oleh Rama. Barulah dia tewas. Akan tetapi, sifak kejantanan dan kemampuan bela diri Mad Dog di film ini membuat saya benar-benar menjadikannya sebagai truly star dalam film ini.  


Mungkin sebagian besar memandang film ini begitu bagusnya, bahkan mendekati sempurna. Semua komentar positif mengalir deras mengenai film ini. Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak bukan? Saya berkata demikian bukan berarti saya mengatakan film ini jelek. Salah besar itu!! Menurut saya film ini bagus, bahkan merupakan film yang berkualitas untuk ukuran film nasional. Film ini bagaikan obat nyamuk yang mencoba mengusir film-film bergenre horror-sex yang begitu menjamur akhir-akhir ini. Lewat film ini juga, Indonesia juga menunjukkan kepada dunia bahwa kita memiliki film action berkualitas, bukan hanya China ataupun Thailand. Tetapi, menurut saya ada beberapa hal yang kemudian mengganjal di benak saya.


Pertama adalah mengenai cerita yang tersaji di dalam film ini. Menurut saya ceritanya “kurang dapet”. Entah saya yang kurang bisa mengerti jalannya cerita atau memang alur cerita yang disajikan dalam film ini kurang kuat. Saya menangkap di film ini kelemahan yang ada dalam alur cerita ditutupi dengan banyaknya adegan laga. Bukan salah sih, ini justru langkah yang brilian. Tapi tetap saja, ada yang membuat mengganjal kan kalau alur cerita kurang kuat? Itu menurut saya. Kedua adalah mengenai setting tempat. Dalam salah satu adegan, Tama menghubungi anak buahnya yang berada di gedung lain. Anak buahnya itu adalah dua orang sniper yang diperintah untuk menghabisi tim penyerbu. Coba anda perhatikan, bukannya di awal film apartemen yang diserbu berdiri tunggal? Maksudnya, ketika diawal yang terlihat hanyalah bangunan apartemen (yang editannya masih agak kasar, karena bangunan aslinya tidak begitu) yang diserbu, sedangkan bangunan lainnya tidak terlihat. Yang ketiga adalah akting dari dua petugas yang menunggu di mobil yang digunakan untuk mengangkut pasukan. Jujur saja, akting kedua orang ini menurut saya sangat jelek, kaku dan malah lebih condong hanya untuk menampilkan sponsor (salah satunya sedang membaca koran S*NDO).


Dan satu hal penting dalam film ini yang bagi saya paling mengganjal. Jika anda semua telah menonton ataupun yang akan menonton, cobalah nanti perhatikan adegan dimana sekelompok anak buah Tama dengan perawakan khas Indonesia timur menggeledah kamar yang dipakai Rama dan salah satu pasukan yang terluka bersembunyi dibelakang sekat. Dalam adegan tersebut, sekelompok anak buah Tama tadi berdialog dengan logat khas timur pula. Saya kurang ingat bagaimana tepatnya, tapi kira-kira seperti ini :
“ko stop tipu-tipu ko. Ko jangan macam-macam. Kalau ko macam-macam, aku muak. Kalau aku muak, aku menggila”


Sontak ketika mendengar dialog ini, seisi ruangan yang menonton film tertawa. Saya pribadi terheran-heran dengan hal ini. Bagi saya, adegan ini sangatlah sangat tidak lucu. Jelas-jelas suasana yang tergambar disitu sangat mencekam. Seorang pemilik kamar yang istrinya tengah sakit, menyembunyikan dua orang yang tengah dicari kawanan jahat, bengis dan diancam akan dibunuh. Saya kurang mengerti apa yang dipikirkan oleh penonton lain. Sekali lagi saya katakan, adegan ini sangat tidak lucu. Apakah ini yang disebut rasis? apakah ini merupakan wujud stereotip kita terhadap saudara sebangsa yang berasal dari kawasan Indonesia timur? Semoga dugaan saya ini salah. Semoga masih banyak orang yang berfikir seperti saya. Semoga adegan tersebut tidak dimaksudkan sebagai sebuah lelucon oleh Gareth Evans. Semoga maksud dari sutradara memang murni menciptakan suasana yang mencekam dalam adegan tersebut.


Secara keseluruhan, film ini menyuguhkan sesuatu yang beru bagi perfilman nasinal. Lewat film ini, kita juga terbukti mampu membuat film yang berkualitas. Film ini 99% merupakan film Indonesia. Seperti yang Gareth Evans bilang “The Raid 99% adalah film Indonesia, hanya 2 orang bule di film ini, Fu*k off bagi yang bilang ini bukan film Indonesia”. Kita juga patut berbangga bahwa karya anak bangsa mampu menembus Hollywood. Kita juga patut menantikan bagian kedua dari The Raid yang oleh Gareth Evans akan dibuat trilogi. Film yang akan diproduksi selanjutnya berjudul Berandal. Gareth menjanjikan dalam film yang akan datang akan lebih banyak lagi adegan yang memacu adrenalin kita. Dan untuk penutup, saya mengucapkan selamat seluruh pencapaian film The Raid sejauh ini. Semoga dengan munculnya film ini, memacu sineas nasional untuk memproduksi film yang lebih berkualitas. 

@bayu_bepe



No comments:

Post a Comment