Thursday, March 29, 2012

Dahlan Iskan untuk 2014? Jangan Terburu-buru Kawan

Dahlan Iskan saat berdialog dengan mahasiswa yang berdemonstrasi

"Anda demo ya?," tanya Dahlan Iskan.
"Iya Pak, kami lagi demo,"  jawab beberapa mahasiswa.
"Demo soal apa?" tanya Dahlan lagi.
"Demo Pilkada, Pak," jawab mereka.
"Pilkada di mana?," Dahlan melanjutkan pertanyaan.
"Pemilihan gubernur DKI, Pak," jawab Dadan Gundara, salah satu demonstran.
 "Mengapa Anda demo Pilkada DKI?," Dahlan terus bertanya.
"Supaya gubernur DKI yang akan datang lebih bagus Pak," jawab mahasiswa Politeknik Negeri
Jakarta yang tergabung dalam BEM Jakarta Raya itu.
"Bagus.. bagus," kata Dahlan.
"Ini Pak Dahlan ya. Benar ini Pak Dahlan Iskan ya," tanya Dadan.
"Iya, saya Dahlan. Kenapa?" Jawab Dahlan.
"Alhamdulillah, saya bisa bertemu langsung dengan  Bapak. Selama ini saya hanya baca di online. Kita sering mendiskusikan berita tentang Bapak," kata mahasiswa  asal Padalarang, Bandung Barat, tersebut.
"Bapak baru habis olahraga ya?" tanya Dadan.
"Tidak, saya baru habis kasih kuliah di situ," kata Dahlan sambil menunjuk kantor Lembaga Pertahanan Nasional.  "Di Lemhannas," Dahlan menambahkan.
"Kok, pake sepatu kets, Pak," Dadan menimpali. "Jadi berita-berita Pak Dahlan pake sepatu kets itu benar donk," ia melanjutkan pertanyannya.
"Demonya sudah selesai?" Dahlan memotong pertanyaan soal sepatu kets..
"Sekarang istirahat dulu Pak,  mau salat dhuhur. Boleh pinjam tempat salat di sini, Pak," kata Dadan kepada Dahlan.
"Salat di kantor saya saja. Ayo," jawab Dahlan sambil berjalan agak cepat ke arah kantornya yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempat mereka berdialog.
"Kantor Bapak di mana" Jauh tidak dari sini," tanya Dadan.
"Itu, dekat," kata Dahlan sambil menunjuk kantor Kementerian BUMN.
"Anda makan dulu yah baru salat. Biar teriakannya kencang. Kita makan sama-sama di kantin," kata Dahlan.
"Kita sudah makan, Pak. Terima kasih," kata Dadan.
"Benar sudah makan," kata Dahlan lagi.
"Sudah Pak. Kita semua sudah makan," jawab Dadan.
"Teriakan kami kencang, Pak. Kalau tidak percaya boleh dicoba Pak," timpal Yusuf Fauzi, salah satu demonstran dari BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
"Kalau begitu kita salat saja ya. Mau di musalah  atau di ruangan saya. Mana teman-temanmu yang lain," kata Dahlan sambil berhenti sejenak.
"Sebentar Pak, saya panggil mereka," kata Dadan, lalu berjalan ke arah teman-temannya yang masih bertahan di depan kantor gubernur DKI.
Dahlan menunggu di depan kantor Kementerian BUMN.
 "Mereka salat di sana, Pak," katanya setelah kembali.
"Ayo, salat di ruangan saya saja," kata Dahlan sambil berjalan menuju lobi kantornya.
Dua mahasiswa demonstran itu pun masuk ke lift bersama Dahlan, ke lantai 19. Dahlan mengajak keduanya  ke ruang kerjanya. "Ini kamar mandi, Anda wudhu di situ," kata Dahlan kepada keduanya.
Ketika Dadan dan Fauzi sedang berwudhu, Dahlan menyiapkan dan menggelar sejadah di sisi selatan ruang kerjanya. Setelah dua mahasiswa tersebut keluar dari kamar mandi,  gantian Dahlan yang masuk untuk berwudhu. Sehabis wudhu, Dahlan langsung qomat dan mempersilakan Dadan menjadi imam. Usai salat, Dadan dan Fauzi  turun bersama Dahlan ke lobi kantor. Keduanya kemudian kembali menemui teman-temannya di depan kantor gubernur DKI dan Dahlan menuju Hotel Borobudur untuk ceramah di depan ratusan direktur utama  perusahaan Badan Usaha Milik Daerah.
Itulah dialog antara Dahlan Iskan dengan dua demonstran yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Mereka bertemu secara kebetulan di trotoar depan Kantor Gubernur DKI di Merdeka Selatan. Waktu itu Dahlan Iskan baru saja selesai memberi kuliah kepada mahasiswa Lemhannas dan hendak menuju kantornya di Kementerian BUMN dengan jalan kaki. Sementara Dadan dan teman-temannya (tampak sekitar 20 orang) sedang berdemo di depan Kantor Gubernur DKI.  Dahlan memang sering jalan kaki kalau hendak dan dari kantor-kantor di sekitar Merdeka Selatan. Kalau ke Istana Wapres ia beberapa kali jalan kaki pergi-pulang. Begitu pula ke kantor Kementerian ESDM. Dalam lift Dadan, yang cerewet itu, juga bertanya tentang rencana pemerintah menaikkan tarif BBM. Dahlan yang wartawan, menjawab dengan sangat tangkas. "Presidan pasti memikirkan yang terbaik untuk rakyat," begitu salah satu jawaban Dahlan atas pertanyaan Dadan.
Hal yang paling penting dari bertemunya  Dahlan Iskan dengan mahasiswa demonstran ini adalah sikapnya dia melayani dialog mahasiswa demonstran itu. Juga sikap Dadan dan Fauzi yang begitu berbudaya  bertutur sapa dengan Dahlan yang seorang menteri. Kedua mahasiswa tersebut malah salut dengan Dahlan yang mau melayani mereka sepenuh hati. Saya memang sempat khawatir akan terjadi caci-maki atau keluar kata-kata tidak sopan para demonstran itu kepada pemerintah. Sebab mereka sedang berhadapan dengan seorang menteri, di arena demonstrasi pula. Sebaliknya , mereka begitu sopan bertutur sapa, dan Dahlan pun melayani sepenuh hati. Dialognya begitu cair, saling menghargai, dan Dahlan pun memposisikan para demonstran itu sejajar dengannya pada saat terjadi dialog. Mereka bahkan memuji Dahlan yang meskipun sudah menjadi menteri tetap bersikap apa adanya.
Saat menghadiri rapat di Istana Negara tetap tampil simple dengan sepatu kets
Begitulah sosok Dahlan Iskan. Kalau dalam bahasa jawa, orang seperti Dahlan Iskan ini mendapat sebutan “grapyak”. Dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih mudah bergaul dengan siapa saja. Jujur, sudah lama mengidolakan tokoh yang satu ini. Ketika saya masih duduk di bangku SMA. Kebetulan keluarga saya berlangganan surat kabar Jawa Pos. Saya mulai intens membaca mengenai Dahlan Iskan ketika beliau menulis pengalamannya tentang perjuangan bertahan hidup. Pada tahun 2007, beliau sempat berobat ke China untuk melakukan transplantasi hati. Kisah yang beliau tuliskan sangat menyentuh, sekaligus banyak membari motivasi, saya yakin tidak hanya bagi saya, akan tetapi banyak juga pembaca Jawa Pos yang mengalaminya. Belakangan, namanya semakin sering terdengar di telinga kita. Berbagai terobosan dia lakukan ketika mendapat mandat dari Presiden untuk menduduki jabatan Dirut PLN pada tahun 2009. Berkat prestasinya membenahi PLN, Presiden kembali memberikannya mandat baru untuk menempati posisi Menteri BUMN. Rasanya hanya berita positif yang kita dapat dari sosoknya. Tak heran, mulai banyak kalangan yang memunculkan namanya dalam bursa pemilihan 2014 nanti.
“Bahaya.. bahaya sekali!” Kata-kata ini meluncur dari mulut Dahlan Iskan ketika ditanya soal pencalonan dirinya sebagai presiden. Menteri BUMN itu selalu mengelak menanggapi wacana pencapresan dirinya oleh Partai Demokrat (PD). Dia mengatakan bahwa implikasinya bisa macam-macam. “Pertama saya akan dianggap kerja keras karena punya keinginan politik tertentu. Bahaya kedua, hal itu akan mengganggu saya untuk bekerja keras di Kementerian BUMN. Ini bisa mengganggu keikhlasan saya dalam menjalankan tugas,”
Cerdas, pekerja keras dan merakyat. Itulah kesan sebagian kalangan terhadap Dahlan Iskan. Ini kontras dengan gaya para pejabat yang gila hormat dan gemar bermewah-mewah (meskipun tidak semua pejabat seperti itu). Dahlan jadi pusat perhatian, dan politisi Partai Demokrat pun merasa memilikinya. Maklum, SBY-lah yang menunjuk Dahlan sebagai Dirut PLN dan Menteri BUMN. Makanya, setelah PD kehilangan masa depan politik Anas Urbaningrum akibat belitan skandal Wisma Atlet dan Hambalang, Dahlan jadi pilihan. PD harus mempunyai calon presiden karena SBY tidak mungkin dicalonkan lagi. Padahal SBY sudah berulang kali melarang istrinya, Ani Yudhoyono untuk maju pada Pilres 2014. PD memang harus mulai mengelus jago capres, sebab para kadernya percaya, partai ini akan tetap bisa memenangkan pemilu mendatang. Jadi aneh bila partai-partai lain sudah memunculkan nama-nama, PD sebagai partai besar justru tampak kebingungan. Jika Partai Golkar hendak mengajukan Aburizal Bakrie, PDIP memiliki Megawati atau Puan, PAN sudah menetapkan Hatta Rajasa, Gerindra percaya diri dengan Prabowo Subianto, lalu siapa calon PD?
“Saya kenal Dahlan Iskan, mungkin saudara tidak. Tapi dengan saya intens sekali. Ketika saya minta tugas selesai minggu depan, ternyata selesai hanya dalam tiga hari. Cepat, bukan 3 minggu,” kata SBY yang disambut tepuk tangan hadirin. SBY dan Dahlan memang sudah saling mengenal sejak 2004, ketika SBY baru memperkenalkan Partai Demokrat untuk menghadapi Pemilu 2004. Dahlan merupakan salah satu tokoh media yang ditemui SBY saat itu. Usai pemilu legislatif, salah seorang kepercayaan Dahlan di Grup Jawa Pos, yakni Alwi Hamu, membentuk sebuah tim pemenangan SBY-JK yang diberi nama Tim Lembang Sembilan. Alwi Hamu, Komisaris Utama Fajar Grup, kelompok media di bawah Grup Jawa Pos, saat itu bertugas membangun pencitraan melalui media.
Kedekatan Dahlan dengan SBY dibuktikan, ketika pria kelahiran Magetan, Jawa Timur itu ditunjuk menjadi Dirut PLN pada akhir 2009. Dengan gaya kepemimpinan yang berbeda dari pimpinan PLN sebelumnya, Dahlan berhasil meningkatkan kinerja PLN. Dahlan kemudian diangkat menjadi Menteri BUMN pada 17 Oktober 2011. Dalam hitungan pekan, sepak terjang Dahlan sebagai menteri mendapat banyak apresiasi. Bukan saja oleh lakunya yang antiprotokoler atau kedekatannya dengan bawahan atau para pengguna jasa BUMN yang dipimpinnya, tetapi juga oleh konsep manajemen BUMN yang hendak dikembangkannya. Nama Dahlan pun moncer: populis, cerdas, jujur, dan bersih. Wajar bila banyak kalangan yang mendambakan republik ini dipimpin orang seperti dia. Bagi kalangan PD yang sedang membutuhkan figur baru, nama Dahlan pun dipuja-puji. Paling tidak, SBY sangat tepat memilih orang ini.
Dahlan Iskan memang tampil beda dengan para pejabat lainnya. Sosoknya yang populis gampang membuat masyarakat jatuh suka. Apalagi masyarakat sudah bosan dengan elit yang selama ini bergaya hedonis. Model kepemimpinan Dahlan Iskan disukai karena gaya kepemimpinannya yang tidak linier, tidak textbook dan tidak birokrat, tetapi harus diingat Dahlan selama ini baru terbukti sukses memimpin lembaga media dan PLN yang ruang lingkup atau levelnya lebih kecil dari mempimpin bangsa. Masih ada beberapa tahapan ujian yang harus dibuktikan Dahlan bila ingin maju menjadi presiden. Dahlan Iskan belum terbukti dalam menyelesaikan konflik masyarakat, masalah SARA, disintegrasi, dan isu politik yang kategori permasalahanya tingkat tinggi.
Transformasi kepemimpinan Dahlan diperlukan untuk maju ke level yang lebih tinggi. Kita harus melihat sepak terjangnya dan kinerja mereka untuk kepentingan rakyat seperti apa, jadi jangan cepat terpesona karena pakai sepatu kets, naik kereta api atau karena gaya hidup.Walaupun demikian, saya tetep menaruh harapan besar pada sosok Dahlan Iskan. Indonesia memang membutuhkan figur seperti beliau. Kesederhanaan, kecepatan dalam mengambil keputusan dan ketulusannya dalam bekerja memberikan harapan bagi Indonesia untuk berubah menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Wednesday, March 28, 2012

The Raid (Serbuan Maut)

Dalam beberapa hari terakhir pasti kita semua semakin sering mendengar tentang film ini. Popularitasnya tidak hanya sebatas di tingkat nasional, tetapi juga mampu mencuri perhatian di kancah internasional. Sejak hari pertama ditayangkan pada 23 Maret lalu serentak di seluruh bioskop di Indonesia, beberapa  kota di Amerika Serikat, Amerika Latin, Kanada, Inggris dan Australia, film ini telah menyedot banyak penonton. Tiga hari pertama tayang di Indonesia, hampir seluruh tiketnya sold out. Bahkan sampai hari ini, antrian panjang di depan loket tiket untuk menonton film ini masih terjadi. Sebuah hal yang membanggakan untuk pencapaian film nasional. Salut!!


Saya pribadi sudah mulai penasaran dengan film ini ketika berhasil meraih penghargaan The Cadillac People's Choice Midnight Madness Award di ajang Toronto International Film Festival 2011. Apabila The Raid akhir-akhir ini sering menjadi Trending Topic  Indonesia di jejaring sosial Twitter, hal serupa juga terjadi di Toronto. The Raid menjadi Trending Topic di Toronto setelah penanyangan perdananya. Film ini disamakan dengan film legendaris dari Thailand, Ong Bak. Ditambah lagi, sebelumnya hak distribusi film ini juga telah dibeli oleh Sony Pictures WorldWide Acquisition (SPWA) dari pihak Celluloid Nightmares, sebuah perusahaan penjualan distribusi film rekanan antara Celluloid Dreams asal Paris dengan XYZ Films yang berbasis di Los Angeles. Film yang kala itu masih berada dalam proses perampungan produksi tersebut akhirnya diberi judul baru, yaitu The Raid. Kesepakatan akuisisi hak distribusi tersebut dicapai di acara Marche du Film, Festival Film Cannes 2011. Selain perubahan judul film, scoring film ini juga dirubah terkait dengan produksinya yang skala internesional. Mike Shinoda  dan Joe Trapanese didaulat untuk re-scoring film ini.


Setelah sekian lama menunggu, penasaran saya akhirnya terobati. Kemarin saya menonton film The Raid di Jogja. Hari ke-4, antrian tiket masih tergolong panjang. Animo penonton masih sangat tinggi. Saya salut dengan strategi pemasaran film ini. Sebelumnya saya juga ingat dengan perkataan Gareth Evans sang sutradara. Dia belajar banyak dari film Merantau. Dari segi cerita maupun koreo film ini tidak kalah dengan The Raid. Akan tetapi film ini tidak terlalu banyak menarik animo masyarakat Indonesia waktu tayang pada 2009 lalu. Justru hal sebaliknya didapatkan ketika film ini ikut dalam beberapa festival film Internasional. Nah, belajar dari situ, untuk film The Raid ini strateginya dirubah. Film ini terlebih dahulu dipromosikan ke ajang internasional. Dari pencapaian di ajang internasional tersebut, otomatis di dalam negeri film ini mendapat ekspos yang besar dari media lokal. Hingga tiba akhirnya ketika akan ditayangkan, publik tanah air sudah banyak yang mengetahui mengenai kualitas film ini.


Kembali lagi mengenai kesan saya ketika melihat film The Raid. Saya memiliki beberapa adegan favorit dalam film ini. Yang pertama adalah ketika Rama (Iko Uwais) memulai film ini dengan adegan ibadah sholat subuh yang kemudian dilanjutkan dengan pamit kepada sang istri dan ayah. Ini merupakan suatu kejutan, di bayangan saya kebanyakan SWAT atau pasukan khusus apapun itu, lebih sering menampakkan perilaku yang urakan. Ternyata sisi religius tetap ditampilkan dalam film ini. Setelah itu, praktis kita semua disuguhi adegan yang memacu adrenalin.  Pukulan, tendangan, tembakan, sayatan pisau bahkan parang banyak tersaji dibarengi dengan banyaknya darah yang berceceran.  Dari sisi koreografi, Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan benar-benar menampilkan tontonan bela diri pencak silat yang sangat memukau. Setiap pertarungan yang terjadi selalu menampilkan gerakan yang berbeda. Ditambah lagi, gerakan yang dilakukan juga semakin ekstrim. Satu pesan penting yang saya dapatkan dari film ini. Sampai detik ini, aparat keamanan Indonesia digambarkan belum “bersih”. Beberapa kali dalam film ini terdapat dialog yang pada intinya menyatakan bahwa aparat tidak akan macam-macam dengan mereka. Aparat telah mereka beli, yang kemudian menjadi backingan usaha narkoba mereka.


Jujur saja, yang menurut saya menjadi bintang dalam film ini adalah Tama (Ray Sahetapy) yang menjadi bos mafia dan Mad Dog (Yayan Ruhiyan) yang berperan sebagai tangan kanan sang bos mafia. Dalam film ini, Tama benar-benar sangat fasih memainkan peran sebagai seorang “bajingan”. Pengalaman akting berbicara disini. Dalam beberapa adegan, Tama berhasil membuat saya benar-benar “gemas” dengan sifatnya. Ada kalanya dia serius, sadis, slengekan dan bahkan konyol. Adegan Tama yang menjadi favorit saya adalah ketika dia mengetahui bahwa markasnya telah diserbu oleh pasukan khusus, dan kemudian dia berbicara melalui speaker yang terhubung ke setiap lantai apartemen. “Selamat pagi, mungkin anda sudah mendengar kalau kita kedatangan tamu tak diundang. Selamat bekerja, dan jangan lupa ber…seeenaaang-senaaaaang”. Anjrit!! bener-bener keren waktu Tama mengucapkan pengumuman itu. Suaranya terdengar bengis dan sontak saja, beberapa anggota pasukan khusus ciut nyalinya.


Beda lagi dengan Mad Dog. Di film ini dia tidak terlalu banyak berakting. Hal ini disebabkan karena memang karakter Mad Dog adalah pendiam. Akan tetapi untuk urusan bertarung, saya lebih menyukai Mad Dog daripada Rama. Pertarungan pertamanya dalam film ini adalah melawan sersan Jaka (Joe Taslim). Keudanya sempat dihadapkan saling menodongkan senjata. Pisau kecil di tangan Jaka, dan pistol di tangan Mad Dog. Meskipun “menang” dari segi senjata, Mad Dog tidak serta merta menarik pelatuknya. Dia justru menantang sersan Jaka untuk bertarung dengan tangan kosong, “kalo gini kan ada gregetnya”, kata Mad Dog seraya menaruh pistol yang dia pegang dan mengepalkan kedua tangan untuk menantang Jaka. Karena kalah dari segi postur, beberapa kali Mad Dog sempat dibanting oleh Jaka. Akan tetapi dengan ketangkasannya, dia mampu menghabisi Jaka.


Tidak hanya berhenti sampai disini. Saya dibuat semakin kagum dengan Mad Dog ketika dia bertarung satu lawan dua dengan Rama dan Andi (Doni Alamsyah) yang ternyata selain menjadi tangan kanan Tama juga menjadi kakak dari Rama. Lagi-lagi, dengan perawakannya yang sangat dingin, dia membuka ikatan rantai di tangan Andi. Kemudian dia mempersiapkan Rama dan Andi untuk bertarung melawan dia. Memang pada akhirnya Mad Dog kalah dan mati, akan tetapi untuk membunuhnya pun harus dilakukan dengan susah payah. Bayangkan saja, ketika Andi telah menancapkan pecahan lampu neon ke leher Mad Dog, dia masih sanggup untuk bertarung melawan keduanya. Hingga akhirnya, pecahan neon yang masih menancap di lehernya ditarik oleh Rama. Barulah dia tewas. Akan tetapi, sifak kejantanan dan kemampuan bela diri Mad Dog di film ini membuat saya benar-benar menjadikannya sebagai truly star dalam film ini.  


Mungkin sebagian besar memandang film ini begitu bagusnya, bahkan mendekati sempurna. Semua komentar positif mengalir deras mengenai film ini. Akan tetapi, tak ada gading yang tak retak bukan? Saya berkata demikian bukan berarti saya mengatakan film ini jelek. Salah besar itu!! Menurut saya film ini bagus, bahkan merupakan film yang berkualitas untuk ukuran film nasional. Film ini bagaikan obat nyamuk yang mencoba mengusir film-film bergenre horror-sex yang begitu menjamur akhir-akhir ini. Lewat film ini juga, Indonesia juga menunjukkan kepada dunia bahwa kita memiliki film action berkualitas, bukan hanya China ataupun Thailand. Tetapi, menurut saya ada beberapa hal yang kemudian mengganjal di benak saya.


Pertama adalah mengenai cerita yang tersaji di dalam film ini. Menurut saya ceritanya “kurang dapet”. Entah saya yang kurang bisa mengerti jalannya cerita atau memang alur cerita yang disajikan dalam film ini kurang kuat. Saya menangkap di film ini kelemahan yang ada dalam alur cerita ditutupi dengan banyaknya adegan laga. Bukan salah sih, ini justru langkah yang brilian. Tapi tetap saja, ada yang membuat mengganjal kan kalau alur cerita kurang kuat? Itu menurut saya. Kedua adalah mengenai setting tempat. Dalam salah satu adegan, Tama menghubungi anak buahnya yang berada di gedung lain. Anak buahnya itu adalah dua orang sniper yang diperintah untuk menghabisi tim penyerbu. Coba anda perhatikan, bukannya di awal film apartemen yang diserbu berdiri tunggal? Maksudnya, ketika diawal yang terlihat hanyalah bangunan apartemen (yang editannya masih agak kasar, karena bangunan aslinya tidak begitu) yang diserbu, sedangkan bangunan lainnya tidak terlihat. Yang ketiga adalah akting dari dua petugas yang menunggu di mobil yang digunakan untuk mengangkut pasukan. Jujur saja, akting kedua orang ini menurut saya sangat jelek, kaku dan malah lebih condong hanya untuk menampilkan sponsor (salah satunya sedang membaca koran S*NDO).


Dan satu hal penting dalam film ini yang bagi saya paling mengganjal. Jika anda semua telah menonton ataupun yang akan menonton, cobalah nanti perhatikan adegan dimana sekelompok anak buah Tama dengan perawakan khas Indonesia timur menggeledah kamar yang dipakai Rama dan salah satu pasukan yang terluka bersembunyi dibelakang sekat. Dalam adegan tersebut, sekelompok anak buah Tama tadi berdialog dengan logat khas timur pula. Saya kurang ingat bagaimana tepatnya, tapi kira-kira seperti ini :
“ko stop tipu-tipu ko. Ko jangan macam-macam. Kalau ko macam-macam, aku muak. Kalau aku muak, aku menggila”


Sontak ketika mendengar dialog ini, seisi ruangan yang menonton film tertawa. Saya pribadi terheran-heran dengan hal ini. Bagi saya, adegan ini sangatlah sangat tidak lucu. Jelas-jelas suasana yang tergambar disitu sangat mencekam. Seorang pemilik kamar yang istrinya tengah sakit, menyembunyikan dua orang yang tengah dicari kawanan jahat, bengis dan diancam akan dibunuh. Saya kurang mengerti apa yang dipikirkan oleh penonton lain. Sekali lagi saya katakan, adegan ini sangat tidak lucu. Apakah ini yang disebut rasis? apakah ini merupakan wujud stereotip kita terhadap saudara sebangsa yang berasal dari kawasan Indonesia timur? Semoga dugaan saya ini salah. Semoga masih banyak orang yang berfikir seperti saya. Semoga adegan tersebut tidak dimaksudkan sebagai sebuah lelucon oleh Gareth Evans. Semoga maksud dari sutradara memang murni menciptakan suasana yang mencekam dalam adegan tersebut.


Secara keseluruhan, film ini menyuguhkan sesuatu yang beru bagi perfilman nasinal. Lewat film ini, kita juga terbukti mampu membuat film yang berkualitas. Film ini 99% merupakan film Indonesia. Seperti yang Gareth Evans bilang “The Raid 99% adalah film Indonesia, hanya 2 orang bule di film ini, Fu*k off bagi yang bilang ini bukan film Indonesia”. Kita juga patut berbangga bahwa karya anak bangsa mampu menembus Hollywood. Kita juga patut menantikan bagian kedua dari The Raid yang oleh Gareth Evans akan dibuat trilogi. Film yang akan diproduksi selanjutnya berjudul Berandal. Gareth menjanjikan dalam film yang akan datang akan lebih banyak lagi adegan yang memacu adrenalin kita. Dan untuk penutup, saya mengucapkan selamat seluruh pencapaian film The Raid sejauh ini. Semoga dengan munculnya film ini, memacu sineas nasional untuk memproduksi film yang lebih berkualitas. 

@bayu_bepe



Monday, March 12, 2012

Hidup Itu...

Hidup itu, akan selalu mengalami dua hal yang saling bertolak belakang. Bahagia ataupun duka, sehat ataupun sakit, kejujuran ataupun kebohongan dan banyak lagi hal lainnya. Itulah mengapa dalam menjalani hidup, jalan yang kita lewati tidak akan melulu lurus. Akan ada kalanya kita melewati tikungan yang tajam, jalan berlubang ataupun tanjakan yang curam. Dari situ kita akan memperoleh pengalaman hidup yang sekaligus menjadi “guru” bagi diri kita. 


Seperti kata pepatah, guru terbaik adalah pengalaman. Hidup itu, akan mengalami kemajuan ketika kita mampu belajar dari pengalaman. Pengalaman hidup yang kita alami merupakan sebuah “mata pelajaran” yang diberikan secara gratis oleh semesta. Kita tidak dituntut untuk mempelajarinya, yang dibutuhkan hanya kepekaan diri kita untuk menyadari eksistensinya. Seringkali orang mampu bangkit setelah mengalami keterpurukan. Kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa keterpurukan yang sempat mereka alami merupakan sebuah pelajaran berharga untuk kemudian bangkit. 


Hidup itu, akan bermakna ketika kita bermanfaat bagi sesama. Bantuan, walau sekecil apapun harus senantiasa kita berikan ketika kita mampu melakukannya. Tentu, bantuan yang dimaksud disini adalah dalam hal kebaikan. Hidup itu, akan menyenangkan ketika kita mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki. Tapi jangan lupa, mensyukuri bukan berarti tanpa berusaha. Hidup juga berarti sebuah perjalanan dari suatu usaha. Perjalanan tersebut akan menyenangkan apabila kita senantiasa menikmati dan bersungguh-sungguh dalam mengawali, melalui maupun mempertahankannya.  


Bagaimana dengan hidup saya? Saya belum melakukan itu semua. Menggelikan bukan? Tulisan tersebut keluar dari pikiran saya, akan tetapi saya sendiri belum mampu merealisasikannya. Baiklah, kalau begitu saya menjadikan tulisan ini sebagai refleksi diri. Sebuah titik untuk kembali memulai sebuah perjalanan panjang yang masih harus saya jalani. Masih banyak yang harus saya pelajari, masih banyak juga yang harus saya lakukan, dan tentunya masih banyak juga yang harus saya syukuri saat ini.

Thursday, March 1, 2012

Sudah Saatnya Semua Yang Bertikai Kembali Bersatu


Kalian masih ingat bagaimana jalannya pertandingan tim kebanggaan kita semalam? Jujur saja, kalau buat saya pribadi apa yang terjadi semalam merupakan sebuah hal yang sangat memalukan. Tapi tunggu dulu, anda jangan langsung menilai saya ini tidak nasionalis, suporter karbitan, atau pun hanya seorang suporter yang bisanya cuma mencaci tim yang menjadi idolanya saat kalah dan begitu memujanya saat berjaya. 

Asal kalian tau saja, domisili saya di Jogja, dari tahun 2007 sampai 2011 saya tidak pernah absen mendukung timnas secara langsung setiap kali ada event di GBK. Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang melakukan hal serupa, saudara kita di luar pulau Jawa mungkin juga banyak yang melakukan hal yang sama. Ini semua dilatar belakangi satu hal, KECINTAAN KITA TERHADAP TIMNAS GARUDA.


Sah saja saya menyebutnya memalukan. Dengan skor 10-0 melawan Bahrain semalam menjadikan tim kita mencatatkan sejarah kelam dalam perjalanan sepak bola kita di ajang Internasional. Kekalahan terbesar sebelumnya adalah ketika Indonesia melawat ke Copenhagen pada 3 September 1974 untuk bertanding melawan timnas Denmark, kala itu kita dipermak 9-0 oleh tuan rumah. Rekor kekalahan Indonesia yang bertahan 38 tahun akhirnya pecah pada Rabu 29 Februari 2012. Bertandang ke Bahrain untuk melakoni pertandingan terakhir Grup E zona Asia Pra Piala Dunia 2014 dengan mengandalkan skuad mayoritas Timnas U-23, Indonesia menjadi bulan-bulanan Bahrain di National Manama Stadium.


Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, seharusnya timnas kita mampu mncatatkan prestasi yang lebih dari ini. Untuk kali ini saya ingin kita semua, siapapun anda yang menyebut diri anda suporter sejati Timnas Garuda, mari kita membicarakan ini dengan hati nurani dan dengan seluruh fakta yang terjadi. Tolong tinggalkan sejenak ideologi primordial kalian, tolong tinggalkan kepentingan golongan yang kalian bela, tolong berfikir secara obyektif berdasarkan realita. Dari sini saya berani membuat pernyataan bahwa segala sumber masalah timnas kita ada pada induk organisasi, PSSI. Sungguh disayangkan, induk organisasi ini masih saja berkutat dengan kisruh sejak tahun 2007, dimana saat itu PSSI dipimpin oleh seorang napi kasus korupsi Nurdin Halid. Memang saat itu gerakan “Revolusi PSSI” berhasilkan menggulingkan Nurdin Halid dengan beberapa anteknya. Hadirnya Djohar Arifin juga sempat membawa asa bagi seluruh pecinta bola di tanah air akan sebuah perubahan yang lebih baik di tubuh PSSI.


Sangat disayangkan dengan keadaan kita saat ini. Pergantian rezim tidak ada artinya, karena kepengurusan dengan pola yang sama seperti rezim bobrok sebelumnya. Ibarat sebuah hand phone, PSSI saat ini merupakan sebuah hand phone rekondisi. Baru chasingnya, tetap saja sudah bobrok dalamnya. Bagi para pengurus PSSI, Garuda bukan didada mereka. Bagi mereka, Garuda ada di Partai mereka. Politik sudah terlalu mendarah daging di tubuh induk organisasi sepak bola kita. Nasionalisme hanya kedok saja bagi kalian, kepentingan golonganlah yang mejadi tujuan. Jika sepak bola telah dipermainkan seperti ini, seluruh bangsa yang menjadi korban. 


Pemain sepak bola profesional yang paling parah menerima konsekuensinya. Banyak sekali pemain yang sebenarnya layak mengenakan seragam timnas Garuda senior malah dipaksa untuk “pensiun” dini. Pemain-pemain yang pada laga kemarin dipakai bukannya tidak berkualitas, akan tetapi menurut saya belum saatnya bagi mayoritas komposisi pemain yang saat ini dipakai diandalkan untuk laga sebesar itu. Potensi mereka masih belum sepenuhnya terasah. Kasihan bagi pemain tersebut, di laga resmi perdananya mereka harus menerima cemoohan dan cacian dari suporter Garuda karbitan.


Belum berhenti disini, keadaan makin parah karena suporter juga menjadi terbelah oleh ulah beberapa oknum yang menggunakan nasionalisme sebagai kedok. Ketika saya amati kemarin malam, ada beberapa akun twitter yang justru mencoba untuk membelokkan isu dengan mencari kambing hitam lainnya. Memang benar masih banyak suporter yang tetap memberikan dukungan, ini sebenarnya salah satu modal utama kita dalam membangun kembali timnas. Akan tetapi akun tersebut masih saja belum mau mengakui hasil buruk tersebut merupakan akibat dari bobroknya kepemimpinan PSSI saat ini. Terlepas dari kepemimpinan wasit yang buruk semalam, sebenarnya kita bisa menurunkan tim dengan komposisi yang lebih baik apabila tidak ada kisruh kompetisi. Siapa dalang dari kisruh kompetisi ini? jawabannya jelas, PSSI yang dipenuhi dengan oknum-oknum yang tidak sepenuhnya menginginkan kemajuan sepak bola di negeri ini.


Mari kita bersatu, samakan visi dan misi, serta lebih jeli dalam melihat fakta yang terjadi. Bagi saya, kedua kubu yang saat ini bertikai, entah itu PSSI ataupun KPSI, keduanya sama-sama tidak layak untuk memimpin organisasi sepak bola kita. Keduanya hanya membawa kepentingan segelintir golongan, tanpa benar-benar berjuang untuk kemajuan persepak bolaan bangsa. Saat ini saya hanya bisa berharap, kelompok tersebut membuka mata dengan semua yang terjadi. Meskipun begitu, saya tetap menaruh harapan besar terhadap kedua kubu tersebut. Perselisihan hanya berakhir dengan sebuah kepedihan dan penyesalah. Kita belum terlambat, masih ada waktu untuk memperbaikinya. Agenda kongres yang akan segera berlangsung harusnya menjadi waktu yang tepat bagi kedua kubu untuk rekonsiliasi, duduk bersama, berdamai dan bekerja sama untuk memperbaiki persepak bolaan negeri ini. Itulah jalan yang terbaik, SUDAH SAATNYA SEMUA YANG BERTIKAI KEMBALI BERSATU

@bayu_bepe