Sore kemarin, saya berserta dua orang teman menonton sebuah
turnamen sepak bola “legendaris” di kampung halaman kami, Karanganyar. Turnamen
tersebut bernama “Sepanjang Cup”, nama yang diambil dari nama desa dimana
turnamen tersebut diselenggarakan, Sepanjang. Secara keseluruhan,
penyelenggaraan turnamen ini dikelola dengan sangat baik. Mulai dari pemain
yang bertanding (seringkali tim peserta mengambil pemain yang berlaga di devisi
utama dan ISL), kondisi lapangan, official pertandingan, ketersediaan tim medis
hingga berbagai hadiah menarik yang disediakan panitia penyelenggara untuk
penonton yang hadir. Hadiah yang disediakan antara lain adalah televisi,
kulkas, uang tunai, seekor kambing dan sebuah sepeda motor sebagai hadiah
utamanya.
Selain itu, daerah
Sepanjang yang terletak di lereng gunung Lawu juga memberikan bonus lain bagi
kita yang menyaksikan langsung pertandingan disana. Pemandangan nan elok, hawa
pegunungan yang segar serta suasana alam yang menenangkan. Dari berbagai momen
menarik yang saya alami selama menonton pertandingan tersebut, ada satu momen
yang begitu “mengena”. Momen ketika ada satu pemain yang bertanding salah
memberikan umpan kedapa rekannya. Sontak ada seorang penonton yang berada
didekat kami menyeletuk, “wooo, malah ngekeki umpan rahasia” (wooo, malah
memberikan umpan rahasia). Mendengar celotehan penonton tersebut, otomatis saya
dan dua rekan tertawa. “Umpan rahasia? Maksudte ki piye ngono lho”, begitu
kira-kira tanya kami bertiga dalam hati. Ungkapan yang aneh, tapi lucu.
Suasana Sepanjang Cup |
Malam hari sesampainya dirumah, saya masih saja memikirkan
ungkapan dari salah satu penonton tadi. “Umpan rahasia”, mungkin apabila kita
mencoba untuk mencari maknanya akan sangat universal. Bisa saja kita
mengartikan “kode”, bisa pula “main dibelakang”, atau apabila dikaitkan dengan
permainan sepak bola bermakna umpan yang diberikan memang umpan berkelas. Umpan
yang dilepaskan oleh seorang pemain yang memiliki visi dua, tiga, empat atau
bahkan lima langkah lebih maju dibanding pemain lainnya. Dan pada akhirnya,
malam itu pula saya menemukan definisi paling tepat untuk menjelaskan apa
sebenarnya “umpan rahasia”. Apabila anda ingin melihat bagaimana umpan rahasia
tersebut dijabarkan, maka lihatlah permainan seorang Francesco Totti.
Tanggal 30 Juni tahun 2000. Dini hari itu, 15 tahun yang lalu
saya telah jatuh hati. Saya begitu terpana melihat tendangan penalti seorang
pemain Italia bernomor punggung 20 ke gawang Edwin Van der Sar. Tendangan penalti
yang belakangan saya ketahui kerap disebut dengan “panenka”. Pemain tersebut
menjadi penendang ketiga bagi Italia setelah Di Biagio dan Pessotto pada babak
adu penalti melawan tuan rumah Belanda di pertandingan semifinal Euro 2000. Eksekusinya
begitu tenang, visinya terlihat begitu matang, dan perawakannya jelas
memperlihatkan bahwa dia memiliki kharisma. Ya, pemain tersebut bernama
Francesco Totti. Berambut pirang, gondrong dengan tali/karet putih yang
melingkar di kepalanya. Khas pemain sepak bola pada awal dekade 2000-an.
Sejak saat itu otomatis saya selalu mengikuti perjalanan
karir seorang Totti. Selama itu pula saya menjadi pendukung setia AS Roma. Bisa
dikatakan bahwa saya menjadi pendukung Roma karena Totti. Hal tersebut akan
saya amini. Wajar, karena banyak orang yang berpendapat bahwa Totti adalah
Roma, dan Roma adalah Totti. Keduanya merupakan satu kesatuan. Satu paket yang
tidak bisa dipisah. Keduanya telah terikat, melekat dan sampai kapan pun akan
diingat oleh tiap manusia di dunia ini yang mencintai keindahan sepak bola. Apabila
di Italia ada kisah Romeo dan Juliet, di Indonesia ada Romi dan Juli hingga ada
kisah Cinta dan Rangga, maka Totti dan Roma merupakan gambaran nyata kisah
cinta abadi antara dua insan di dalam dunia sepak bola.
Dalam buku Soccer Men:
Profiles of the Rogues, Geniuses, and Neurotics Who Dominate the World's Most
Popular Sport, yang ditulis oleh Simon Kuper, Totti diceritakan sebagai
pribadi yang menarik. Sebagai seorang yang lahir di keluarga Roman yang
tradisional, maka tidak mengherankan apabila ibunya tiap hari selalu menyetrika
seragam sepak bolanya. Totti kecil memiliki cita-cita yang jauh dari hiruk
pikuk dunia sepak bola. Menjadi petugas di stasiun pengisian bahan bakar, atau petugas
pom bensin lebih gampangnya. Anda tahu apa alasannya? Karena Totti kecil
menyukai bau dari gas. Sebuah alasan yang terdengar konyol. Akan tetapi hal
tersebut wajar, mungkin karena Totti kecil belum menyadari kemampuan luar biasa
yang dia miliki ketika bercengkrama bersama bola.
Hingga hari ini, 28 September 2015, Totti masih setia bersama
dengan Roma. Klub yang dia bela sepanjang karir profesional sepak bolanya. Klub
yang menjadi idolanya, klub yang mengasah potensinya hingga menjadi pemain
besar seperti sekarang. Sejauh ini dia telah bermain sebanyak 746 pertandingan
resmi, mencetak 300 gol dan memberikan 187 assist. Gol ke-300 Totti untuk Roma dicetak pada 21 September lalu ketika Roma menjamu Sassuolo di Olimpico. Gol ke gawang Consigli tersebut sekaligus menjadikan Sassuolo sebagai tim Serie A ke-38 yang gawangnya berhasil dibobol oleh Totti. Semua itu dia lakukan selama 21 tahun, hanya dengan satu seragam, AS Roma. Selama 21 tahun itu pula dia
mengalami masa haru-biru bersama roma, tinggi-rendah, suka-duka, riuh-sunyi,
terbang-tenggelam. Tidak ada sedikitpun hasrat untuk meninggalkan klub yang dia
cintai.
“Mungkin saya memiliki
banyak kesempatan (bermain untuk klub lain) dalam karir saya, hal itu tidak terbantahkan. Akan tetapi
saya lebih memilih untuk tetap bersama Roma. Dan hingga saat ini saya senang
dengan pilihan yang saya buat. Di sekolah, mereka mengajarkan kepada kita
bahwa keluarga adalah hal terpenting bagi tiap manusia. Roma adalah keluarga
saya. Pernahkan anda mendengar ada seseorang yang meninggalkan
keluarganya yang miskin untuk kemudian lebih memilih tinggal bersama dengan keluarga
asing yang lebih kaya?”. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Totti terkait
keputusannya untuk menolak tawaran bergabung dari Real Madrid. Penolakan yang
dilakukan oleh Totti ini juga diakui oleh Florentino Perez, presiden Real
Madrid yang tiap musimnya tanpa henti ingin menciptakan “Los Galacticos”. “Apa
penyesalan terbesar saya? Saya tidak mampu mendatangkan pemain juara sekelas
Francesco Totti”. Begitulah lirih penyesalan dari seorang Perez. Meskipun dengan
sumber dana tak terhingga, reputasi besar klub dan berbagai tawaran
menggiurkan, Totti lebih memilih bersama Roma.
Setiap klub sepak bola memiliki pemain yang sempat atau masih
menjadi simbol klub. Iker Casillas dan Raul Gonzalez di Real Madrid, Steven
Gerrard dan Jamie Carragher di Liverpool, Xabi Hernandez, Andres Iniesta dan
Lionel Messi di Barcelona, Ryan Giggs di Manchester United, Paolo Maldini di AC
Milan dan masih banyak lagi nama-nama besar lainnya. Mungkin saja dari segi pencapaian
prestasi deretan nama tersebut lebih mentereng dari seorang Totti. Akan tetapi
dari deretan nama tersebut juga tidak seberuntung Totti. Paling tidak hingga
saat ini Totti masih memiliki kesempatan untuk terus bermain membela klub
pujaannya. Paling tidak hingga saat ini dia masih menjadi alasan supporter Roma untuk
terus meneriakkan namanya ketika list pemain disebutkan sebelum pertandingan di
Olimpico dimulai. Paling tidak hingga saat ini dia masih bisa memberikan
kontribusi nyata, mulai dari pekikan semangat, kontrol bola menawan, visi
bermain luar biasa, gol-gol indah atau bahkan “umpan rahasia” bagi pemain lain
untuk membawa Roma memenangkan tiap laga.
Beberapa orang hingga saat ini hanya sekedar bisa memimpikan
kesuksesan, sedangkan beberapa orang lainnya saat ini masih terjaga untuk terus
meraihnya. Itulah sosok Francesco Totti. Hingga usianya yang menginjak 39
tahun, dia masih tetap terjaga, kokoh, penuh hasrat memimpin tiap pertandingan
bersama panji AS Roma yang dia mainkan. Untuk semua yang telah anda berikan, saya
memiliki pesan. Terima kasih atas semua momen fantastis yang telah anda
ciptakan. Terima kasih atas sebuah contoh nyata bagaimana arti loyalitas
sebenarnya. Terima kasih atas hiburan tanpa henti yang anda berikan tiap rumput
dan bola menyatu di kaki anda.
Saya berharap, anda tetap bertahan paling tidak untuk satu
musim kedepan. Tetaplah kenakan ban kapten Roma di lengan kananmu. Tetaplah isap
jempol ketika bola berhasil anda jaringkan ke gawang lawan. Tetaplah berlari ke
curva sud ketika anda merayakan gol di ajang derby. Tetaplah warnai tiap
pertandingan Roma dengan keindahan visi bermainmu, layaknya keindahan alam
Sepanjang yang sempat saya nikmati sore hari yang lalu. Jujur, saya sebagai pendukung Roma
khususnya, dan sepak bola pada umumnya belum siap untuk kehilangan seorang Fantasista langka seperti anda.
Selamat ulang tahun kapten, terima kasih atas semua keindahan
yang telah anda berikan.