Tuesday, April 24, 2012

Tugiyo, Gol Tunggal “Maradona” Membawa Mahesa Jenar Raih Juara

Atas saran Dokter, Tugiyo disarankan untuk opname di sebuah rumah sakit di Singapura karena penyakit yang dideritanya cukup parah. Sesampainya di rumah sakit, Tugiyo dibawa ke kamar dan segera di infus. Beberapa jam kemudian, datang seorang bule yang keliatannya sakit parah dan dibaringkan di sebelah Tugiyo. Si bule walaupun kelihatannya lemah, dia masih mencoba berkomunikasi dengan Tugiyo.
Dia mengangkat tangannya dengan susah payah dan bilang, “American…”
Tugiyo yang dengan lemah, menjawab, “Indonesian..”
Setelah itu keduanya diam.
Beberapa menit kemudian mereka siuman dan mencoba berkomunikasi lagi..
Si bule berkata dengan lemas, “James..”
Dan dijawab dengan susah payah oleh Tugiyo, “Tugiyo..”
Mereka mencoba lagi melanjutkan pembicaraan,,
“Texas..” ujar si bule
Dijawab Tugiyo, “Purwodadi..”
Si bule yang udah hampir kehabisan napas berkata, “Cancer..” (sakit kanker)
Dan dengan sisa-sisa napas yang ada Tugiyo menyahut, “Sagitarius..”

Tugiyo ketika beraksi membela PSIS
Sebelumnya saya minta maaf, tulisan diatas hanya intermezzo saja. Ketika sedang browsing untuk mencari informasi mengenai Tugiyo, eks bintang PSIS Semarang, saya menemukan artikel humor tersebut. Dan jujur saja, kalau saya mengingat seorang Tugiyo, yang terlintas di pikiran saya hanyalah sosok orang yang lucu. Lucu dalam artian perawakannya kecil, agak bantet dan dengan tekstur muka yang mungkin akan lebih cocok apabila jadi pelawak. Ini benar-benar jujur, no offense.

 Terlepas dari fisiknya yang saya anggap lucu, akan berbeda ceritanya apabila kita membahas kemampuannya bermain sepak bola. Walaupun secara fisik dia termasuk penyerang dengan postur yang kecil, akan tetapi skill dan kecepatan dalam bermain sepak bola yang sangat mumpuni kemudian menjadikan dia mendapat julukan sebagai Maradona. Seorang legenda sepak bola dunia asal Argentina yang memiliki perawakan postur yang sama dengan Tugiyo.   

Dialah pencetak gol tunggal PSIS di final Liga Indonesia V pada tahun 1999 saat mengalahkan Persebaya, di Stadion Klabat, Manado. Masih teringat di benak saya, ketika itu saya menyaksikan pertandingan tersebut memalui layar televisi. Kala itu, pertandingan disiarkan langsung oleh TVRI. Secara komposisi tim, keduanya berimbang. Akan tetapi Persebaya yang kala itu ditangani oleh pelatih Rusdy Bahlawan sedikit lebih mentereng dengan beberapa nama besar pemainnya macam Hendro Kartiko, Aji Santoso, Anang Maruf, Bejo Sugiantoro, Yoseph Lewono, Chairil Anwar, Alm. Eri Irianto, Yusuf Ekodono, Uston Nawawi, Musa Kallon dan juga Reinald Pieters. 

Sedangkan materi pemain PSIS yang dilatih oleh Edy Paryono diisi oleh nama-nama macam I Komang Putra, Agung Setiabudi, Wasis Purwoko, Simon Atangana, Ebanda Timothy, Bonggo Pribadi, Ali Sunan, Ali Saha Ali dan juga Tugiyo. Kala itu pertadingan dipimpin oleh wasti Djajat Sudrajat dan disaksikan sekitar 30.000 penonton. Pertandingan berlangsung seru dan berimbang. Penentuan gelar juara harus menunggu hingga menit-menit akhir. Tepatnya pada menit ke-89 dengan kecepatan, ketenangan dan akurasi tendangannya, Tugiyo berhasil membobol gawang Hendro Kartiko.

Dengan gol tunggalnya yang berhasil mengantarkan tim Mahesa Jenar menjadi juara kala itu, otomatis Tugiyo dielu-elukan bak pahlawan di usianya yang kala itu baru menginjak 22 tahun. Hidup Tugiyo, yang seorang anak penarik becak, memang berubah sejak ia kenal sepak bola dan terlebih setelah membawa kesebelasannya menjuarai Liga Indonesia V. Selain undangan makan, hadiah mengalir deras untuknya, mulai dari kapling tanah, sepeda motor, dan uang. Rumah gedeknya yang ditinggali ibunya kini sudah menjelma jadi gedung bergaya Spanyol. Walau sudah kaya dan punya deposito puluhan juta, "Maradona dari Purwodadi" ini mengaku tak ingin mengubah gaya hidupnya. Untuk bepergian, ia cukup puas naik sepeda motor dan tak ingin membeli mobil. Tugiyo juga mengaku belum mikirin cewek, walau banyak yang naksir. Soal handphone? "Oh, ini untuk menelepon ibu saya kalau di lapangan," kata Tugiyo, yang selalu minta doa ke ibunda setiap akan bertanding.[1]
 
Gol di pertandingan final Ligina V tersebut merupakan pencapaian puncaknya sepanjang berlangsungnya Ligina musim itu. Tugiyo mengawali karirnya sebagai pemain dari kampung kelahirannya di Purwodadi. Kemudian ia masuk diklat Salatiga dan Ragunan. Pernah bermain pula di PSSI U-16, di Iran. Keluar dari diklat Ragunan, Tugiyo mencoba peruntungannya dengan bermain untuk klub PSB Bogor selama dua musim. Pada tahun 1997, Tugiyo sempat ditolak untuk tergabung dalam program PSSI Baretti yang dikirim ke Italia. Alasan utama penolakan dari PSSI adalah karena postur Tugiyo yang pendek. Akan tetapi, selang dua tahun kemudian dia membuktikan bahwa keputusan PSSI tersebut salah besar. 
 
Pada tahun 1999 dia bergabung dengan klub PSIS Semarang. Dalam gelaran Ligina musim 1999, dia bermain apik sepanjang musim dan puncaknya adalah gol tunggalnya di partai final. Total Tugiyo merumput selama lima musim bersama PSIS. Pada tahun 2008 lalu, Tugiyo sempat mencoba lagi peruntungannya dengan mengikuti seleksi pemain PSIS untuk musim 2008-2009, akan tetapi usahanya gagal. Kemampuannya sudah banyak berkurang dikarenakan cidera lutut berkepanjangan yang sempat dia alami. Cidera tersebut dia dapatkan ketika memenuhi panggilan pelatnas untuk persiapan piala Asia tahun 2000 yang kala itu dilatih oleh Nandar Iskandar.

Lantas bagaimana kabarnya saat ini? Dari informasi yang saya dapatkan, Ia meniti karir sebagai pelatih tim sepakbola Kecamatan Bawang dan tim U-20 Kabupaten Batang sejak 23 Juni 2009. Saat ini pula, Tugiyo telah mengantongi lisensi kepelatihan seri C yang dia dapatkan dari kursus pelatih di Magelang pada September 2009 lalu. Sebenarnya, dia masih berhasrat untuk bermain sepak bola, akan tetapi kebanyakan tawaran yang datang kala itu berasal dari klub luar Jawa. Faktor keluarga yang pada akhirnya menjadikan dia mengurungkan niat untuk kembali bermain sepak bola. Melatih tim Kecamatan Bawang merupakan kebanggaan tersendiri, karena antusiasme penduduk sangat tinggi. Dukungan orang tua pemain dan warga yang mensponsori tim itu sangat tinggi. Kabar terakhir yang saya dapatkan, saat ini Tugiyo menjadi pelatih salah satu sekolah sepak bola (SSB) di kota Semarang.

Andi Teguh (Eks pelatih Barito Putra di Era Galatama) pernah mengatakan, bahwa Tugiyo adalah salah satu talenta besar dalam sepakbola nasional. Nama Tugiyo pernah menjadi fenomena di belantika sepak bola nasional. Bagi saya pribadi, namanya yang tiba-tiba tenggelam juga menjadi fenomena tersendiri. Pemain sebesar dia, tergolong sangat singkat menikmati masa puncaknya. Sangat disayangkan juga, bahwa telantanya belum sempat dipakai untuk Tim Nasional Garuda. Apapun itu, nama Tugiyo akan selalu saya ingat. Pamain mungil, lincah, cepat dan memiliki insting mencetak gol yang sangat tinggi. Tugiyo, gol tunggal “maradona” yang membawa Mahesa Jenar juara akan selalu melegenda.






[1] Informasi tersebut saya kutip dari majalah tempo terbitan 27 April 1999

Wednesday, April 11, 2012

BAHAGIAKANLAH ORANGTUA KALIAN, MAKA BAHAGIALAH KALIAN



Beberapa waktu lalu, ada seorang teman yang meminjamkan sebuah buku kepada saya. Buku tersebut berjudul “7 Keajaiban Rezeki” yang ditulis oleh Ippho Santosa. Buku tersebut merupakan sebuah buku motivasi dengan metode pengembangan otak kanan kita. Awalnya saya meragukan buku tersebut. Saya menganggap isi dari bukunya hanyalah kalimat-kalimat semacam motivasi yang memang menarik untuk diucap, akan tetapi kurang bisa meresap, menyadarkan dan kemudian mendorong kita untuk melakukan apa yang dianjurkan. Dan menurut saya, kebanyakan buku motivasi memang semacam itu. Karena anjuran teman, saya pun mencoba untuk membacanya. Dalam waktu singkat buku tersebut sudah selesai baca (karena memang tidak terlalu tebal.. hehehe). Apa kesimpulan dari saya? Saya anjurkan anda untuk membacanya. Banyak sekali pelajaran berharga yang saya dapat dari membaca buku ini. Dari sekian banyak pelajaran yang saya dapat, salah satu bagian yang paling mengena bagi saya adalah mengenai renungan dari hubungan antara kita dengan orangtua kita. Mungkin kita semua tidak sadar, banyak sekali yang telah dilakukan oleh orangtua untuk kita, akan tetapi justru banyak juga perbuatan kita yang malah mengecewakan mereka.

Berikut ini merupakan beberapa renungan tersebut :
Orangtua selalu membanggakan anda. Apakah anda selalu membanggakan mereka?
Orangtua selalu mendoakan anda. Apakah anda selalu mendoakan mereka?
Orangtua selalu berkorban untuk anda. Apakah anda selalu berkorban untuk mereka?
Orangtua berusaha membahagiakan anda. Apakah anda berusaha membahagiakan mereka?
Orangtua membesarkan serta menafkahi anda dan saudara-saudara anda tanpa pamrih dan lebih memilih menyembunyikan keluhan mereka didepan anda. Padahal seringkali kehidupan orangtua serba kekurangan. Tapi, begitu anda dan saudara-saudara beranjak dewasa, malah mengeluh ketika harus membantu dan menafkahi orangtua. Padahal kehidupan anda dan saudara-saudara anda sering serba kecukupan.

Masih belum sadar? masih ada banyak lagi gambaran lainnya.
Saat kita berusia 1 tahun, orangtua memandikan dan merawat kita. Apa balasan dari kita saat itu? Seringkali kita membangunkan tidur mereka ketika tengah malam menjelang.
Saat kita berusia 2 tahun, orangtua mengajari kita berjalan. Apa balasan dari kita saat itu? Kita malah kabur ketika orangtua memanggil kita.
Saat kita berusia 3 tahun, orangtua memasakkan makanan kesukaan kita. Apa balasan dari kita saat itu? Dengan tingkah polah, kita malah menumpahkan makanan masakan mereka.
Saat kita berusia 4 tahun, orangtua memberi kita pensil berwarna. Apa balasan dari kita saat itu? Meskipun telah diberikan kertas gambar, kita justru lebih memilih untuk mencorat-coret tembok rumah dengan pensil tersebut.
Saat kita berusia 5 tahun, orangtua membelikan kita  baju yang bagus. Apa balasan dari kita saat itu? Kita malah mengotorinya dengan bermain-main di lumpur.
Saat kita berusia 10 tahun, orangtua membayar mahal-mahal uang sekolah dan uang les kita. Apa balasan dari kita saat itu? Kita malah bermalas-malasan dan bahkan memilih untuk bolos.
Saat kita berusia 11 tahun, orangtua mengantarkan kita kamana-mana. Apa balasan dari kita saat itu? Kita malah seringkali tidak mengucapkan salam ketika keluar rumah.
Ketika kita berusia 12 tahun, orangtua mengizinkan kita menonton bioskop dan acara lain di luar rumah. Apa balasan dari kita saat itu? Kita malah meminta orangtua duduk di barisan lain, terpisah dari kita dan teman-teman kita.
Ketika kita berusia 13 tahun, orangtua membayar biaya kemah, biaya pramuka, dan biaya liburan kita. Apa balasan kita saat itu? Seringkali kita malah tidak memberikan kabar ketika kita berada di luar rumah.
Ketika kita berusia 14 tahun, orangtua pulang kerja dan ingin memeluk kita. Apa balasan dari kita saat itu? Justru kita malah menolak dan mengeluh “Bapak, Ibu, aku sudah besar!”
Ketika kita berusia 17 tahun, orangtua sedang menunggu telepon yang penting, sementara kita malah asyik menelepon teman-teman kita yang sama sekali tidak penting.
Ketika kita berusia 18 tahun, orangtua menangis terharu ketika kita berhasil lulus dari bangku SMA. Apa balasan kita saat itu? Kita justru malah memilih berpesta semalaman bersama teman-teman dan baru pulang keesokan harinya.
Ketika kita berusia 22 tahun, orangtua memeluk kita dengan haru ketika kita diwisuda. Apa balasan kita saat itu? Kita malah bertanya kepadanya, “Bapak, Ibu, mana hadiahnya? Katanya mau membelikan aku ini dan itu?”
Saat kita berusia 23 tahun, orangtua orangtua membelikan sebuah barang yang kita idam-idamkan. Apa balasan kita saat itu? Kita justru malah mencela, “Duh, kalau mau beli apa-apa untuk aku, bilang-bilang dong. Aku kan gak terlalu suka model yang seperti ini!”
Saat kita berusia 29 tahun, orangtua membantu membiayai pernikahan kita. Apa balasan kita setelah itu? Kita malah pindah ke luar kota, dan sangat jarang sekali menghubungi mereka.
Saat kita berusia 30 tahun, orangtua memberi tahu kita bagaimana cara merawat bayi. Apa balasan kita saat itu? Kita malah berkata, “Bapak, Ibu, zaman sekarang sudah beda. Nggak perlu lagi cara-cara seperti dulu”
Saat kita berusia 40 tahun, orangtua mulai sering sakit-sakitan. Apa balasan kita saat itu? Kita malah berkata, “Bapak, Ibu, aku sudah berkeluarga. Aku punya tanggung jawab terhadap keluargaku”
Dan entah kata-kata apalagi yang pernah kita ucapkan kepada orangtua. Bukan sebuah hal yang mustahil apabila hal-hal tersebut yang kemudian menyumbat rezeki dan kebahagiaan kita semua.

Saya yakin, pasti dari kita semua pernah melakukan hal diatas. Wajar memang, kita adalah manusia, seorang makluk yang tidak luput dari kesalahan. Dari renungan tersebut mencoba memberi gambaran kepada kita bahwa kita harus selalu menghormati kedua orangtua kita. Mungkin kita seringkali berbeda pendapat dengan mereka, tapi percayalah, pada dasarnya mereka menginginkan yang terbaik bagi kita. Tidak mungkin ada orangtua yang ingin mencelakakan anaknya. Kalaupun itu ada, itu hanya anomali dari sekian banyak orangtua hebat yang ada dimuka bumi ini. Hal lainnya adalah kita memiliki “hutang” yang tidak terhingga kepada orangtua kita. Dilihat dari materi, waktu maupun pengorbanan mungkin sudah tidak bisa dihitung besarnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita wajib membayar “hutang” kita tersebut. Bagaimana caranya? Mulai sekarang bagi anda yang sudah pernah melakukan kesalahan diatas, perbaikilah. Jangan sampai anda melakukan kesalahan lainnya dikemudian hari. Sekarang, sadarlah bahwa salah satu kewajiban paling utama kita di dunia ini adalah membahagiakan orangtua kita. Mungkin ada juga kasus yang menunjukkan bahwa seseorang sukses akan tetapi tidak memiliki hubungan harmonis dengan orangtuanya. Saya berani jamin, kehidupan orang tersebut sudah pasti tidak tenang! Sampai kapanpun apabila keadaan ini tidak diperbaiki, tetap akan ada yang mengganjal dihati orang tersebut.

Satu hal penting yang terakhir adalah bahwa doa dari orangtua kita merupakan salah satu doa yang paling mujarab. Hormatilah, sayangilah dan jagalah orang tua kalian dengan baik. Niscaya orangtua akan selalu mendoakan kita dengan hal-hal yang baik pula. Apabila kita melakukan hal sebaliknya, maka bukan tidak mungkin bencana yang akan kita dapat. Dan tahukah kalian salah satu jalan tercepat untuk mewujudkan mimpi kita? Jawabannya adalah doa yang selaras antara kita dan orangtua kita. Jadi apabila misalnya anda ingin membuka usaha baru, mintalah doa dari orangtua kalian agar usaha tersebut diberikan jalan menuju kesuksesan. Insyaallah, apabila doa kita selaras mimpi kita akan dengan sangat cepat terwujud, tentunya semua itu juga harus diiringi dengan usaha yang keras dan halal pula. Jadi saya sarankan, apabila sekarang anda sedang memiliki mimpi, apapun itu, segera hubungi orangtua anda, sms, telefon, email ataupun ajak chatting sekarang juga. Katakan apa yang menjadi mimpi kalian, minta tolong kepada mereka agar selalu mendoakannya saat beribadah.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Lewat tulisan ini pula, saya berharap semoga kita semua senantiasa diingatkan dan dituntun untuk memuliakan orangtua kita. Semoga kita juga senantiasa diberikan motivasi lebih untuk melakukan semua usaha yang bertujuan untuk membahagiakan orangtua. Untuk itu, BAHAGIAKANLAH ORANGTUA KALIAN, MAKA BAHAGIALAH KALIAN.


Tuesday, April 10, 2012

Machine Gun Preacher : Ketika Seorang Bajingan Berubah Menjadi Misionaris Tuhan


Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata seorang Sam Childers (Gerard Butler). Kejahatan, narkotika dan alkohol adalah teman karibnya semasa dia terjerumus dalam lubang kehidupan yang kelam. Semua itu kemudian berubah ketika dia mendapat pencerahan dari Tuhan. Seorang kriminal kemudian bertransformasi menjadi seorang religius yang membawanya “berjuang” dalam misi kemanusiaan di Sudan Selatan, Afrika. Film yang rilis pada 2 November 2011 ini merupakan gambaran lain dari getirnya kehidupan di kawasan Afrika yang sampi saat ini masih menyisakan banyak konflik. Digarap oleh sutradara Marc Forster, film ini menjadi favorit ketiga saya (dari segi penggambaran konflik di Afrika) setelah film Hotel Rwanda (2004) dan Blood Diamond (2006).

Pada awalnya, film dimulai dari Sam yang telah resmi menjadi narapida. Pahitnya kehidupan di penjara ternyata belum juga bisa merubah kehidupannya. Disisi lain, istrinya Lynn (Michelle Manoghan) yang sebelumnya adalah penari telanjang di sebuah klub malam di Pennsylvania telah berubah menjadi lebih religius. Pada awalnya, sulit bagi seorang Sam untuk menerima perubahan yang begitu cepat baginya. Dia masih tetap sulit untuk meninggalkan kehidupan kelamnya yang banyak dilakukan bersama Donnie (Michael Shannon). Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Semua berubah ketika Sam menusuk seorang gelandangan yang menumpang mobil mereka ketika mereka baru saja merampas secara paksa narkotika dan uang dari seorang bandar narkoba. Dalam keadaan yang berada dititik terendah dalam hidupnya, Sam akhirnya memberanikan diri untuk bertobat.

Transformasi diri dari seorang Sam pun dimulai. Dia mencoba untuk memulai kehidupan barunya, diawali dengan mencari pekerjaan yang halal. Kegigihannya dalam usaha akhirnya membuahkan hasil ketika dia memiliki usaha sebagai kontraktor bangunan. Kehidupan religiusnya pun semakin membaik dengan seringnya dia pergi ke tempat ibadah. Sampai pada suatu ketika, dia menerima tawaran untuk pergi bersama dengan jemaat gereja ke Uganda dalam misi kemanusiaan mendirikan rumah penampungan bagi korban konflik. Ketika teman sesama jemaat gereja lainnya memilih pergi mencari hiburan pada saat senggang, dia memilih jalan lain. Dia memutuskan untuk pergi ke Sudan Selatan ditemani oleh salah satu tentara Sudan People Liberation Army (SPLA) bernama Deng (Soulemany Sy Savane).

Di Sudan dia melihat sebuah pamandangan yang memilukan. Disini ada sebuah adegan yang benar-benar menyedihkan, dimana seorang wanita yang mulutnya dipotong oleh tentara Lord’s Resistance Army (LRA) karena mencoba mendebat pasukan yang dipimpin oleh Joseph Kony. Tidak berhenti disitu, ketika malam hari saat Sam dan Deng menginap di sebuah bangunan di kawasan Sudan Selatan datanglah segerombolan anak-anak dari pinggiran yang tidur diluar bangunan mereka. Anak-anak ini dikirim oleh orang tua mereka untuk menghindari serangan tentara LRA yang kerap kali melakukan pembantaian warga di beberapa desa ketika malam tiba. Tidak tega melihat keadaan ini, dia menyuruh anak-anak untuk masuk dalam bangunan dan tidur bersama dengan mereka. Hal yang memilukan terjadi lagi ketika pagi tiba, mereka menemukan sebuah desa yang penduduknya dibantai habis oleh tentara LRA. Bahkan seorang anak yang masih selamat dan mencoba untuk mengejar anjingnya yang lari ketakutan harus ikut tewas dengan keadaan kaki yang hancur karena terkena ranjau. Anak itu mati di pelukan Sam. Ini adalah sebuah momen yang menjadikannya ingin berbuat sesuatu untuk menyelamatkan anak-anak di Sudan Selatan.

Ketika dia pulang dari Afrika, dia memulai rencananya dengan membangun sebuah gereja yang nantinya akan menjadi sebuah yayasan bernama Shekinah Fellowship di Central City, Pennsylvania. “A place for a sinner just like me, who want to hear word of god” itulah kata yang diucapkan Sam kepada Lynn ketika pertama kali memiliki gagasan untuk membangun sebuah gereja, tidak peduli bahwa dia pelacur, pecandu narkotika maupun pecandu alkohol, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk kembali ke jalan Tuhan. Dalam perjalanannya, Sam  akhirnya rutin mengisi kotbah di gereja tersebut. Dari gereja ini, dia menceritakan getirnya kehidupan, terutama anak-anak, di Sudan Selatan. Dari gereja ini pula dia menghimpun dana yang akan disumbangkan untuk pembangunan sebuah panti asuhan di Sudan Selatan.

Tidak berlama-lama di Pennsylvania, Sam pun kembali ke Sudan Selatan untuk memulai pembangunan panti asuhan. Sempat mendapat kendala di awal perencanaan, dimana lokasi yang dia inginkan ditolak oleh pihak berwenang setempat. Dia memilih lokasi yang letaknya berada di tengah-tengah antara zona aman dan zona perang. Pikirnya, lokasi itulah yang paling tepat dijadikan panti asuhan, karena kebanyakan desa yang rawan pembantaian dapat dengan cepat menjangkau lokasi panti tersebut. Walaupun akhirnya dia mendapat persetujuan untuk membangun di lokasi tersebut dengan membeli tanahnya, akan tetapi kendala tidak berhenti sampai disini. Ketika proses pembangunan telah berlangsung, saat malam tiba tentara LRA menyerbunya. Beberapa tentara SPLA tewas dan sebagian bangunan yang belum rampung hancur oleh senjata pasukan LPA.

Kejadian ini menjadi guncangan besar bagi seorang Sam. Dia mulai putus asa dengan tujuan mulianya. Dia mulai merasa bahwa apa yang dia lakukan hanya berujung sia-sia. Untung saja, Lynn tetap memberikan dukungan penuh terhadap suaminya. “Telah banyak dari anak-anak disana yang kehidupannya dibakar dan dihancurkan. Berapa banyak dari mereka yang menyerah ? Tuhan selalu memiliki tujuan, Sam ! Sekarang bangkitlah, berhenti mengangis dan mulailah membangun kembali”. Kalimat dari istrinya tadi terdengar sangat powerful. Berkat motivasi dari sang istri, Sam kembali bangkit untuk berjuang mendirikan panti asuhannya. Berkat kegigihannya, panti asuhan itu pun akhirnya dapat berdiri.

Salah satu rutinitas dari panti asuhan ini adalah melakukan penjemputan anak-anak yang terletak di desa rawan konflik untuk dibawa ke panti. Suatu hari, Deng dan Marco yang pulang dari penjemputan di daerah bernama Adjumani, mendapati sorang bocah yang terluka parah karena disiksa oleh pasukan LRA. Segala upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan nyawa bocah ini, akan tetapi sayang, maut tetap menjemputnya. Sam yang sudah tidak tahan melihat penyiksaan ini bergegas pergi ke desa itu. Disana dia bertemu dengan rombongan pasukan LRA yang sebagian merupakan tentara anak-anak. Sebagian besar dari tentara anak-anak tersebut telah mendengar mengenai keberadaan Sam yang dijuluki “White Preacher” (pengkotbah putih). Anak-anak yang dipaksa untuk mengangkat senjata dan harus berhadapan dengan tentara SPLA yang dipimpin Sam pun takut. Pada akhirnya mereka justru menembak atasan LRA, dan memilih untuk tinggal bersama Sam di panti asuhan.

Lambat laun, jumlah anak yang tinggal di panti asuhan tersebut semakin meningkat. Dana yang dibutuhkan juga semaking tinggi. Dana yang tadinya hanya bergantung pada sumbangan yang diperoleh Shekinah Fellowship sudah tidak cukup lagi. Beberapa kali Sam mencoba mendatangi langsung pengusaha di Pennsyvania untuk memberikan donasi. Akan tetapi, keadaan ekonomi Amerika Serikat yang saat itu juga sedang mengalamai krisis mengakibatkan donasi juga sulit didapat oleh Sam. Saat itu, Sam berencana untuk membangun taman bermaian untuk anak-anak di panti asuhan, dengan biaya yang dibutuhkan sebesar US$5000. Sulitnya memperoleh donasi pada akhirnya mengharuskan dia untuk menjual beberapa barang pribadinya. Senjata kesayangan dan juga mobil Lynn akhirnya dia jual untuk dapat mendapatkan biaya pembangunan taman bermain bagi anak-anak panti asuhan.

Kembali lagi ke Afrika, Sam berhasil membangun taman bermaian di panti asuhan. Kegigihannya memperjuangkan nasib anak-anak ini pula yang pada akhirnya terdengar sampai ketelinga John Garang, pemimpin oposisi Sudan. Dia berkunjung ke panti asuhan dan sempat menawari Sam untuk turut serta dalam perundingan damai yang akan diadakan di Rusia. Sam dengan tegas menolak ajakan tersebut. Dia berpendapat bahwa perudingan hanya omong kosong dan tidak ada bukti nyatanya. Perjuangannya di panti asuhan adalah wujud konkret dari perjuangan menuju perdamaian sesungguhnya. Setelah kunjungan tersebut, pagi harinya Sam didampingi beberapa pasukan SPLA berangkat menuju kota untuk membeli beberapa kebutuhan bulanan. Pada saat perjalanan pulang, mereka bertemu dengan puluhan anak yang akan diculik oleh tentara LPA. Karena keterbatasan tempat, hanya beberapa anak saja yang diangkut menuju panti asuhan. Ketika Sam dan rombongan kembali untuk menjemput sisanya, secara tragis mereka hanya menemui tumpukan tubuh anak-anak yang telah hangus terbakar.

Kebencian yang begitu mendalam telah merasuki seorang Sam Childers. Emosinya berubah menjadi meledak-ledak setelah peristiwa tersebut. Ditambah lagi, ketika dia mendapati berita bahwa pemimpin oposisi John Garang turut tewas dalam sebuah kecelakaan helikopter. Kali ini dia benar-benar dipenuhi oleh amarah. Tanpa pikir panjang, dia menjual seluruh aset yang dimiliki. Tabungan keluarga juga dia ambil. Sampai-sampai, Paige, anak kandungnya berkata “you love that black babies rather than me”. Dia merasa bahwa sang ayah terlalu jauh berbuat dan mulai melupakan keluarganya. Tujauan kemanusiaan yang tadinya mulia saat itu berubah menjadi layaknya emosi dalam diri yang tidak terkendali. Meskipun ditentang oleh keluarganya, Sam tetap bergeming. Dia tetap menjual seluruh aset dan mengambil tabungan keluarganya untuk digunakan membeli sebuah truk yang akan digunakan untuk mengangkut lebih banyak anak di desa-desa rawan konflik.

Sebagian besar tentara SPLA yang mendampinginya di panti asuhan juga mulai tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi dalam diri Sam. Mereka mulai ragu tentang kepemimpinan Sam. Tindakannya yang lebih mengedepankan emosi menjadi salah satu alasan utama mengapa kepercayaan mereka terhadap Sam mulai luntur. Dalam keadaan terpuruk, film ini kemudian menampilkan sebuah adegan yang sangat menyentuh. Ketika malam datang, Sam yang terjaga dari tidurnya dikagetkan dengan masuknya seorang bocah ke dalam kamarnya. Sejak pertama kali ditemukan, bocah ini tidak pernah sekalipun berbicara dengan Sam. Akan tetapi malam itu bocah itu mengucapkan kata-kata yang berarti dalam bagi seorang Sam. Dia bercerita bagaimana keluarganya dihabisi oleh LRA. Dia juga bercerita bagaimana tentara LRA memaksanya membunuh ibu kandungnya. Sampai pada akhirnya dia berkata “If we are allows ourself to full of hate, than they won. We must not let them take your heart”. Seketika itu Sam memeluknya, dan seketika itu pula Sam mulai sadar bahwa dia terlalu jauh terbawa arus amarah.

Sebuah film yang benar-benar menyentuh. Gambaran seorang Sam Childers yang begitu apik tersaji di film ini. Gerard Butler mampu menjiwai seorang Sam Childers. Emosi dari Butler di film seolah merupakan satu kesatuan dari seorang Sam. Pemaparan cerita juga berjalan dengan sangat menarik. Banyak sekali terdapat adegan yang begitu menyentuh, seolah kembali mengingatkan kita bahwa sampai saat ini, kehidupan seorang manusia masih bernilai “sangat murah” di Afrika. Tak heran, apabila film ini pun digadang-gadang bakal menjadi salah satu nominasi peraih Oscar. Satu catatan penting, seorang Sam Childers sampai saat ini terus berjuang di Sudan Selatan untuk menyelamatkan sebanyak mungkian anak-anak dari ancaman pembantaian pasukan LRA. Sam tidak sendirian karena keluarganya Lynn dan Paige, hingga saat ini tetap setia mendampingi dan mendukungnya. Dengan semua yang telah dia lakukan, semoga lewat film ini mata dunia kembali terbuka. Lewat seorang Sam Childers pula kita mendapatkan jawaban dari pertanyaan “Has God forgot about the people of Africa ?”. Ternyata Tuhan masih peduli terhadap Afrika, dia menunjukkan kepeduliannya melalui perjuangan “utusannya”, Sam Childers.




Wednesday, April 4, 2012

Anda Termasuk dalam Kategori Suporter Apa?



Suporter merupakan salah satu faktor penting bagi setiap tim dalam sepak bola. Football without fans is life without sex,” demikian pernyataan dari Jock Stein. Keberadaan mereka bisa menjadi tambahan suntikan semangat ketika mendukung timnya bertanding. Kebesaran suatu tim ataupun klub juga bisa dilihat dari faktor seberapa besar dukungan suporter atau fans kepada mereka. Suporter dapat melambungkan nama sebuah klub karena aksi simpatik ataupun bentuk loyalitasnya. Di beberapa klub Eropa, suporter bahkan bisa menentukan arah kebijakan klub dalam soal transfer atau bahkan kepemilikan klub. 



Suporter sendiri memiliki kategori yang beragam. Suporter setiap negara ataupun klub juga memiliki ciri khas masing-masing. Bahkan dalam satu kelompok suporter sendiri memiliki ciri yang beragam. Ada suporter yang benar-benar fanatik dan loyal terhadap tim yang dia bela. Ada pula suporter yang hanya ikut-ikutan mendukung suatu tim. Yang menurut saya konyol adalah banyak saat ini suporter yang sempat (karena hanya berlangsung semantara) datang ke stadion, mendukung suatu tim hanya dikarenakan tim tersebut memiliki pemain yang tampan. Bukan salah memang, ini mungkin sebagai fenomena baru suporter yang saat ini menjadi tren. Akan tetapi, bagi suporter yang benar-benar mendukung karena kecintaan dan loyalitas, mungkin alasan tersebut terdengar menggelikan. 



Kembali lagi mengenai kategori suporter. Beberapa waktu lalu saya membaca di sebuah buku berjudul The Land of Hooligan yang dalam salah satu bagiannya membedakan suporter dalam beberapa kategori. Cukup menarik, selama ini menurut saya suporter itu hanya ada dua kategori; suporter yang ingin menonton dan mendukung tim idolanya, dan satu lagi adalah suporter yang hanya ingin menonton pertandingan, esensi dari menontonnya pun “gak dapet”. Tidak ada unsur dukungan yang kuat dari jenis suporter kedua ini, itu menurut pendapat saya. Nah, dalam buku yang saya sebutkan tadi, para pendukung tim sepak bola sebenarnya bisa dibedakan dalam berbagai kategori, yaitu :



Hooligan. 

Hooligan adalah fans bola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan pada awalnya merupakan stereotip suporter bola dari Inggris, akan tetapi kemudian mejadi fenomena global. Sebagian besar Hooligan adalah para back-packer yang telah berpengalaman dalam bepergian. Mereka sering menonton pertandingan yang memiliki tingkat resiko besar. Pertandingan yang beresiko besar contohnya adalah pertandingan yang melibatkan dua tim yang menjadi musuh sekota ataupun musuh tradisional. Banyak dari mereka sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik. Untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pilihannya, dan memilih berpakaian asal-asalan agar sulit dideteksi oleh pihak polisi. Walaupun demikian, kelompok ini tidak mau untuk menggunakan senjata. Para Hooligan biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama, tetapi mereka lebih memilih untuk berpencar.


Ultras.  

Kata ultras diambil dari bahasa Latin yang artinya “diluar kebiasaan”. Kalangan ultras  tak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel tim favorit mereka selama berlangsungnya pertandingan. Mereka juga rela berdiri sepanjang permainan dan menyalakan gas warna-warni (atau yang paling sering kita lihat red flare). Jika anda sering menyaksikan pergerakan manusia seperti gelombang di dalam stadion atau yang lebih dikenal dengan gerakan Mexican wave, itu adalah instruksi dari ultras yang sangat kreatif kepada pendukung lainnya yang ada di dalam stadion. Karakter mereka temperamental, seperti hooligan, apabila timnya kalah bertanding atau diremehkan. Namun, berbeda dengan hooligan, tujuan utama mereka adalah mendukung tim, bukan untuk unjuk kekuatan dengan jalan adu fisik. Angota ultras adalah mereka yang setia dan loyal terhadap tim favoritnya cukup lama.


The VIP.  

Bagi mereka, yang penting bukan menonton bola, melainkan supaya ditonton oleh penonton lain. Sebagian besar kelompok ini adalah para pebisnis tingkat tingi yang menyaksikan pertandingan di kotak VIP demi sebuah gengsi untuk pencitraan diri. Karena atas nama bisnis, segalanya dihitung sebagai investasi. Tak heran jika dalam areal VIP atau yang biasa disebut skyboxes, para jutawan ini bisa bertemu dengan rekan bisnis lainnya dan menghasilkan deal-deal penting bagi usahanya. Mereka tak memperdulikan bagaimana jalannya pertandingan ataupun hasil akhir, kecuali itu akan memberikan dampak bagi bisnis yang dijalankannya. Itu untuk penjelasan bagi yang mengusung misi bisnis, bagaimana dengan yang mengusung misi pencitraan? Kalau kasus ini kita akan banyak sekali menemuinya di tanah air. Kalian mungkin masih ingat dengan apa yang terjadi ketika berlangsung pertandingan antara Persija vs Persisam pada 26 Februari 2012 lalu. Gubernur DKI terlihat menyaksikan langsung pertandingan tersebut. Saya ingat betul bagaimana statementnya; “Soal Persija mana yang bener, saya tidak tahu yang bener yang ini apa yang itu. Yang jelas, yang ini fans-nya banyak." Dari kalimat tersebut sih saya menangkap beliau mencari massa. Maklum lah, pilkada DKI kala itu makin dekat. 


Daddy/Mommy

Mereka adalah orang-orang yang suka melibatkan atau membawa anggota keluarga mereka saat menonton pertandingan. Bagi mereka, menonton pertandingan bola layaknya sebuah rekreasi keluarga untuk mempererat kebersamaan. Oleh karena itu, mereka menonton bola jika tiket tidak terlalu mahal atau pada pertandingan uji joba saja. Tiket murah dapat mereka peroleh mana kala sebuah klub mengeluarkan kebijakan yang biasanya di sebut fans day dimana klub akan memberikan potongan harga tiket untuk momen-momen tertentu. Sebagian dari Daddy/Mommy adalah karyawan profesional yang gemar sepak bola, akan tetapi tarafnya tidak sampai fanatik. Letak tempat duduk mereka saat menonton biasanya jauh dari hooligan dan ultras. Mereka mengkhawatirkan anak-anak mereka menjadi sasaran apabila terjadi kericuhan di dalam stadion saat berlangsungnya pertandingan.


Chrismas Tree. 

Dipanggil dengan sebutan Chrismas Tree (pohon natal) karena sekujur tubuh dan pakaian orang yang masuk kategori ini dilengkapi berbagai aksesoris dan atribut tim mulai dari pin, bagde, stiker, tato, corat coret di wajah, tubuh sampai dengan rambut. Berbeda dengan hooligan maupun  ultras yang seringkali adalah laki-laki, Chrismas Tree bisa laki-laki maupun perempuan, tampil sendiri-sendiri maupun berpasangan. Pada dasarnya, tujuan utama mereka tak menonton sepak bola, tapi juga berusaha menunjukkan identitas negara atau tim favoritnya lewat busana tradisional khas negara maupun daerah mereka. Kelompok ini biasanya memilih tempat duduk yang berjauhan dari hooligan maupun ultras.


The Expert. 

Sebagian besar adalah para pensiunan yang telah berumur. Mereka tak “sayang” menggunakan uang pensiunnya untuk bertaruh. Jadi jangan heran apabila kalian mendapati mereka nampak selalu tegang sepanjang jalannya pertandingan. Tak jarang pula mereka menengguk berbotol-botol minuman karena saking tegangnya. Namun, golongan The Expert  ini biasanya hanya tertarik pada pertadingan sekelas World Cup dan UEFA Cup (Euro), bukan pada pertandingan liga atau antar-klub. Di tangan mereka selalu menggenggam telepon dan koran untuk memprediksi hasil akhir pertadingan. Letak duduk mereka biasanya di dekat gawang untuk memudahkan berteriak memberikan semangat. Layaknya pelatih, mereka juga mengarahkan strategi apa yang harus dijalankan pemain.


Couch Potato

Mungkin inilah kelompok suporter terbesar dari fans sepak bola. Mereka ini tidak menonton langsung ke stadion, melainkan hanya memalui layar kaca di rumah. Tipe ini berasumsi bahwa menonton melalui televisi lebih nyaman daripada membuang uang untuk sebuah pertandingan yang belum tentu bagus. Prinsip fans jenis ini adalah murah meriah. Sambil menonton, selalu tersedia camilan dan minuman di dekatnya. Tak hanya keluarga, agar acara nonton lebih seru, mereka biasanya mengundang tetangga, keluarga besar ataupun teman-temannya. Akan tetapi jangan salah, meski hanya di depan televisi, mereka juga berdandan seolah-oleh ada dalam lapangan. Jersey tim kebanggaan, bendera bahkan sampai corat-coret muka mereka lalukan untuk meramaikan ajang nonton bareng tersebut.


Seiring dengan semakin populernya sepak bola, gelombang dukungan dari suporter juga semakin besar. Semakin besarnya dukungan ini, kemudian mengakibatkan semakin beragam pula jenis suporter yang ada. Hal ini tentu saja akan terus berlangsung karena saya yakin di masa-masa yang akan datang olah raga ini akan semakin digandrungi. Khusus untuk di Indonesia, perkembangan saat ini sudah terlihat. Sering saya temui ketika berlangsungnya pertandingan tim nasional dan juga klub lokal, semakin banyak kaum hawa yang menonton langsung di stadion. Ini merupakan sebuah pencapaian besar, terutama apabila kita bandingkan dengan beberapa tahun yang silam. Nilai entartainment yang ditawarkan oleh sepak bola nasional saat ini semakin tinggi. Pertandingan sepak bola yang sebelumnya dicap sebagai pangkal kerusuhan saat ini mulai luntur. Dengan pencapaian ini, sekarang giliran kita semua seluruh suporter Indonesia, dari kategori apapun dan dari klub manapun untuk mempertahankannya dan bahkan dimasa-masa yang akan datang meningkatkan pencapaian ini.