Saturday, November 24, 2012

Timnas Ditengah Keterbatasan

Beban super berat disandang Tim Nasional Indonesia di piala Federasi sepak bola ASEAN (AFF) 2012 yang akan segera bergulir hingga 22 Desember. Aral menghadang dari segala sisi, bahkan dari negeri sendiri. Kesebelasan merah putih itu dibangun dalam situasi konflik, yaitu konflik tiada henti antara PSSI pimpinan Djohar Arifin dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Konflik itu telah melahirkan PSSI tandingan dibawah komando La Nyalla Mataliti dan timnas sempalan dengan pelatih Alfred Riedl. 

Dampaknya pun kasat mata terlihat. PSSI tak leluasa merancang skuad garuda untuk membentuk tim yang solid dan bermental tangguh. Pelatih Nil Maizar dan (Manajer) Habil Marati dipaksa pontang-panting.  Keinginan PSSI memanggil pemain Indonesia Super League (ISL) untuk digabungkan dengan materi dari pemain Indonesia Premier League (IPL) terus membentur tembok egoisme kelompok. KPSI sebagai pengendali ISL selalu punya dalih berlebih untuk menghalangi niat itu. 

Dalam nota kesepahaman yang diteken PSSI dan KPSI di kantor konfederasi sepak bola Asia (AFC) 7 Juni, tegas disebutkan “Timnas dibawah yuridiksi PSSI”.  Namun KPSI memilih menafsirkan lain, semangat memaksakan kehendak tetap menggelegar. Mereka hanya melepas pemain ISL ke Timnas jika Riedl menjadi pelatih kepala. Sebuah sikap mengada-ada. Begitulah KPSI, didepan AFC patuh, tetapi dibelakang membangkang. Padahal Timnas semestinya dibangun dan berlaga di level internasional hanya punya satu misi, yakni mengangkat harkat dan martabat bangsa. 

Semangat timnas begitu mulia, yakni merajut beragam kepentingan demi kejayaan bangsa. Namun, di negeri ini Timnas justru menjadi lahan bagi sebagian orang untuk memamerkan kejemawaan. Timnas diperlukan layaknya ajang perebutan kekuasaan politik yang sarat intrik. Timnas malah menebalkan sekat antar sesama anak bangsa. Sekat yang menjungkir balikkan akal sehat. Simak saja ketika Bambang Pamungkas bergabung dengan Timnas, tidak sedikit yang bersuara sumbang. Bambang yang jelas-jelas ingin mengharumkan nama negara justru dicap pengkhianat. 

Celakanya lagi, pemerintah ikut larut dalam intrik. Menpora, Andi Mallarangeng, sempat ogah mengucurkan bantuan dana karena menurutnya Timnas tidak diisi pemain-pemain terbaik. Bukankah PSSI sudah membuka peluang bagi pemain ISL tetapi dijegal KPSI? Bukankah dengan sikap itu berarti Menpora mengkerdilkan punggawa Timnas yang ada? Memang, Menpora akhirnya membantu Timnas Rp. 800 juta, tetapi itu amat terlambat. Bisa jadi pula ia malu, karena sekelompok supporter lebih dulu menyumbang Rp. 56 juta hasil penggalangan dana untuk Timnas. 

Boleh saja Menpora tak peduli tak masalah jika ada orang Indonesia yang berharap pasukan Nil Maizar hancur lebur di piala AFF, sehingga mereka punya amunisi baru untuk menyerang PSSI. Namun percayalah, sebagian besar rakyat tetap mencintai dan mendukung Timnas. Dalam sepak bola berlaku aksioma, tidak ada yang tidak mungkin. Timnas boleh dipandang nyinyir, tetapi bukan mustahil merekalah yang akan mengakhiri paceklik prestasi sepak bola nasional. Itulah yang kita harapkan di perhelatan piala AFF.  

Artikel diatas merupakan kutipan prolog dari tayangan ulasan “Bedah Editorial Media Indonesia” di Metro TV yang kala itu mengangkat topik “Timnas Ditengah Keterbatasan”. Sedih memang, ketika pecinta bola di Indonesia ini dipermainkan oleh secuil oknum yang menyeret sepak bola nasional ke dalam jurang kelam bernama politik. Seakan-akan otak, kaki dan tangan mereka telah terpatri untuk terus menerus mengusik sepak bola negeri ini. Mereka tidak akan pernah puas, walaupun sebelumnya mereka telah menghancurkan sepak bola nasional dengan berbagai skandal memalukan. 

Jujur, saya tidak fanatik dengan PSSI dibawah kepemimpinan Djohar. Apalagi setelah dia mengeluarkan kebijakan mengenai syarat klub yang tergabung di liga PSSI musim lalu. Jelas hal tersebut menjadikan banyak pihak langsung antipati terhadap kepemimpinannya. Kemudian munculnya La Nyalla. Komisi Penyelamat Sepak Bola Nasional, terdengar begitu manis memang bagi pecinta sepak bola nasional yang menginginkan perbaikan. Sempat memberikan angin segar, akan tetapi di akhir, justru kelompok ini yang Nampak nyata sebagai Komisi Perusak Sepak Bola Nasional

Dalam situasi ini, posisi saya netral. Jelas bahwa kedua kelompok baik PSSI maupun KPSI sama-sama (pernah) melakukan kesalahan. Keduanya juga sama-sama memiliki sisi bejat dan kelam.
Akan tetapi untuk Timnas, legitimasi yang dimiliki PSSI adalah mutlak. Tawaran kerja sama dengan KPSI juga telah dilayangkan. Tapi faktanya jelas, La Nyala lah yang menjadi begundal sesungguhnya. Dari awal saya 100% mendukung Timnas Indonesia. Bukan soal PSSI atau pun KPSI. Akan tetapi sebuah tim yang legal, sah, resmi dan yang mendapat pengakuan dari FIFA yang akhirnya pantas disebut Tim Nasional Indonesia. 

Hormat saya sepenuhnya saya tujukan kepada seluruh punggawa Timnas saat ini, terutama Bambang Pamungkas dan kepala pelatih Nil Maizar. Dengan tidak mengesampingkan peran punggawa lainnya, akan tetapi dua sosok ini merupakan tokoh sentral dalam skuad Timnas saat ini. Bepe dengan keberaniaannya bergabung dengan Timnas dibawah bayang-banyang sanksi KPSI (yang nyatanya tidak terbutkti) dan Nil Maizar yang dengan keteguhannya membangun Timnas dengan komposisi “seadanya”. Sungguh sebuah tindakan dan tekad yang harus kita apresiasi.

Pada akhirnya, lewat tulisan ini lagi-lagi saya hanya bisa melayangkan doa. Doa yang benar-benar tulus dari dalam hati, semoga seluruh pemain dalam skuad garuda nanti dapat bermain maksimal. Tolong sejenak lupakan berbagai kemelut di persepak bolaan negeri ini. Cobalah fokus bertanding. Kalian mewakili kami, 240 juta rakyat Indonesia yang saya yakin sebagian besar masih memiliki cinta dan harapan akan torehan prestasi dari kalian. Bertarunglah sebagai wakil kami, bukan lagi oknum di PSSI, politisi apalagi KPSI. 

Selamat bertanding skuad garuda, doa dan harapan terbaik akan selalu kami tujukan untuk kalian disana.

Monday, September 10, 2012

Momen Tak Terlupakan Ketika Mendukung Skuad Garuda (Bagian I)


 Membicarakan sepak bola nasional memang tidak pernah ada habisnya. Apalagi dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, kancah sepak bola nasional begitu gencarnya dibicarakan. Sayang sekali bukan prestasi membanggakan yang menjadi topik, akan tetapi malah pencapaian lusuh, rusuh pertandingan dalam kompetisi dan kisruh organisasi yang berkepanjangan. Sebagai pecinta sepak bola nasional, saya dan anda semua pastinya merasakan kesedihan yang mendalam. Disaat negara-negara tetangga kita semakin maju membangun persepakbolaannya, negara kita malah masih jalan ditempat. Para pengurusnya saling mengedepankan ego, memfasilitasi kepentingan politik beberapa pihak dan otomatis mengorbankan keberadaan pemain yang hanya bisa tunduk terhadap berbagai peraturan omong kosong yang mereka buat. Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas mengenai buruknya pencapaian sepak bola nasional kita. Sudah terlalu sering saya dan anda semua disuguhi dengan tulisan-tulisan yang isinya semakin membuat kita sedih. Bahkan bukan tidak mungkin dengan semakin banyaknya tulisan tersebut akan membuat kita pada suatu titik yang menjadikan kita apatis dan acuh pada persepakbolaan nasional. Nah, untuk itu melalui tulisan ini saya ingin berbagi “kebahagian” berkaitan dengan pengalaman saya ketika menyaksikan langsung pertandingan pembuka AFF Cup 2010.

Pada bulan Desember 2010 lalu, negera-negara di kawasan Asia Tenggara berkompetisi dalam turnamen yang rutin diselenggarakan dua tahunan, AFF Suzuki Cup. Sepanjang sejarahnya, Indonesia belum sekalipun mampu menjadi juara dalam turnamen regional tersebut. Pencapaian terbaik “hanya” empat kali masuk ke partai final, dan keempatnya pula berakhir dengan gelar runner-up. Pada tahun tersebut, Indonesia mendapat giliran sebagai tuan rumah penyisihan grup, bersama dengan Vietnam. Indonesia tergabung dalam grup A yang terdiri dari tim sepak bola Thailand, Laos, dan Malaysia. Laga grup A diadakan di dua kota di Indonesia, untuk di Jakarta diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, dan di Palembang diadakan di Stadion Jakabaring. Hasil pengundian grup yang diadakan kira-kira dua bulan sebelumnya membuat saya jauh-jauh hari telah membulatkan tekad untuk menonton pertandingan langsung timnas yang diadakan di Jakarta. Yang menjadi pilihan utama saya adalah pertandingan pembuka yang mempertemukan Indonesia melawan Malaysia. Pertandingan tersebut rasanya memiliki magnet yang begitu besar bagi saya, selain karena rivalitas tradisional kedua negara, gengsi dalam pertandingan tersebut menurut saya tergolong sangat tinggi.

Seiring pengundian grup, rilis resmi jadwal pertandingan juga diumumkan. Tanggal 1 Desember 2010 merupakan jadwal pertandingan antara Indonesia melawan Malaysia. Otomatis, segala sesuatu saya persiapkan. Pada tanggal tersebut semua kegiatan saya kesampingkan, “bagaimanapun caranya saya harus bisa menyaksikan langsung pertandingan itu di SUGBK. Titik”. Begitulah kira-kira kalimat yang terpatri di pikiran saya saat mengetahui jadwal resmi pertandingan tersebut. Rencana pertama saya adalah mempersiapkan akomodasi. Pertama saya mencoba untuk mengecek harga tiket kereta tujuan Jogja-Jakarta. Saya menghindari menggunakan kereta kelas ekonomi, jangan ditanya mengapa alasannya, seharusnya anda semua tahu mengapa saya tidak memilihnya. Keunggulan kereta kelas ekonomi (saat itu) hanya dari segi harga yang terjangkau, lainnya? Menurut saya tidak ada. Setelah saya mengecek harga tiket kereta, untuk kelas bisnis maupun eksekutif harganya cukup mahal. Maklum, saya seorang mahasiswa, hehehe.

Setelah itu, iseng-iseng saya mengecek harga tiket pesawat. Sebelumnya, saya mendapatkan informasi dari teman, bahwa maskapai penerbangan Mandala saat itu sedang promo gila-gilaan. Dan benar saja, saya mendapati harga tiket pesawat tujuan Jogja-Jakarta untuk tanggal 31 November 2010 “hanya” Rp. 80.000 !!  Tanpa berpikir panjang, langsung saya booking saja tiket tersebut, selanjutnya saya bayar lewat ATM. Dari sini saya mendapat firasat bahwa rencana saya ini akan berjalan lancar. Semakin semangat pula saya mempersiapkan perjalanan saya menyaksikan langsung pertandingan timnas Garuda. Mendekati hari-H pertandingan, liputan di media mengenai ajang AFF Suzuki Cup semakin gencar, termasuk juga melalui social media Facebook. Untuk mendapatkan berita ter-update mengenai AFF, saya rutin membukanya dalam akun Facebook Suzuki Indonesia. Sampai pada ketika suatu hari akun tersebut mengadakan sebuah kuis dengan hadiah utama adalah dua tiket VIP pertandingan pembuka AFF Suzuki Cup 2010 di SUGBK. Kala itu, untuk mendapatkan hadiah tiket tersebut diharuskan untuk menjawab pertanyaan dari akun Suzuki Indonesia. Dan untuk jawaban terbaik akan menjadi pemenangnya.

Pertanyaan dari Suzuki waktu itu adalah “Siapakah pemain tim nasional Indonesia saat ini yang menjadi Idola anda? Dan mengapa anda mengidolai pemain tersebut?”. Melihat pertanyaan tersebut, hanya ada satu sosok yang menurut saya paling tepat dan pantas untuk dapat dijadikan jawaban dari pertanyaan tersebut, dialah Bambang “Bepe” Pamungkas. Mengapa saya mengidolai Bambang Pamungkas? Rasanya terlalu banyak alasan mengapa saya dan mungkin anda semua mengidolai pemain yang satu ini. Kemampuannya sebagai striker tidak perlu dipertanyakan lagi, lihat saja jumlah gol di klub, baik di Persija maupun klub Malaysia Selangor FC yang dibelanya pada 2005 silam. Bukan hanya di klub, di tim nasional pun dia memegang caps terbanyak sekaligus menjadi striker tersubur dengan gol dari kaki maupun sundulan mautnya. Sejauh ini, dialah pemain lokal yang memiliki kharisma yang luar biasa. Kharismanya ini dia tunjukkan dengan gaya kepemimpinannya sebagai kapten tim di atas lapangan. Ketika sebagian besar pemain lokal begitu reaksioner dengan keputusan wasit, dia lah satu-satunya pemain yang sejauh ini belum saya lihat secara langsung melakukan protes berlebihan terhadap korps pengadil lapangan. Jangankan memukul wasit, mendorong wasitpun sejauh pengetahuan saya tidak pernah. Apabila protes, dia akan melakukan dengan sewajarnya.

Diluar lapangan, sosok Bambang tetaplah santun. Dari segi ekonomi pemain sepak bola lokal, dia merupakan salah satu pemain dengan kontrak tertinggi di Indonesia. Walaupun demikian, dia tidak pernah terlihat glamor seperti kebanyakan pemain lokal dengan kontrak tinggi saat ini. Dia malah aktif dalam berbagai kegiatan sosial yang sering dia sosialisasikan melalui akun twitternya @bepe20, maupun melalui situs pribadinya bambangpamungkas20.com secara rutin. Satu hal yang menurut saya unik, dan semakin membuat saya mengidolainya, adalah kebiasaannya menulis. Hal ini menjadi semacam anomali, sangat jarang seorang pemain sepak bola, apalagi sepak  bola lokal yang gemar mempublikasikan tulisannya, dan tulisannya pun menurut saya “berisi”. Bahkan beberapa waktu lalu, kumpulan tulisannya di situs pribadi diangkat menjadi sebuah buku dengan judul “Ketika Jemariku Menari”. Hebatnya lagi, seluruh hasil penjualan buku tersebut disumbangkan kepada Syair Untuk Sahabat Foundation, sebuah lembaga yang memberikan bantuan kepada penderita kanker dan HIV/AIDS. Semakin salut saja saya dengan seorang Bambang Pamungkas. Kurang lebih seperti itulah jawaban saya atas pertanyaan yang menjadi kuis berhadiah dua tiket pertandingan pembuka AFF Suzuki Cup 2010.

Setelah tiba pada saat pengumuman, lebih tepatnya pada malam harinya, saya mencoba untuk mengecek akun facebook saya. Terlihat ada satu notifikasi, dan notifikasi itu adalah dari Suzuki Indonesia. Rasanya keberuntungan masih betah untuk berdampingan dengan saya. Dari ratusan orang yang mengikuti kuis tersebut, saya terpilih menjadi salah satu pemenangnya. Dari sini, saya semakin membulatkan tekad untuk menonton pertandingan tersebut. Kebetulan bapak saya juga seorang yang gila bola. Masa kecil beliau dulu adalah di Kediri. Beliau sering bercerita bahwa semasa kecil dia sering menyaksikan pertandingan ke kota, walau harus mengayuh sepeda hingga puluhan kilometer. Dan gen “gila bola” ini nampaknya menurun kepada anaknya. Saya pun memberitahukan rencana untuk menonton langsung pertandingan timnas di SUGBK, dengan harapan akan diberikan uang saku tambahan. Hehehehe… Ternyata apa yang saya dapat justru melebihi ekspektasi. Bapak saya juga ikut-ikutan untuk turut serta “ngluruk” ke Jakarta menyaksikan pertandingannya secara langsung. Rencananya kita akan bertemu di SUGBK pada saat hari H pertandingan. Kebetulan, beliau ada acara dinas ke Jakarta H+1 pertandingan.

Masalah transport sudah beres, dan sekarang adalah merencanakan bagaimana saya nanti menginap selama di Jakarta. Nah, kebetulan teman satu kosan saya di Jogja yang berasal dari Tangerang sedang pulang kerumahnya. Jadi H-1 saya meminta bantuannya untuk dijemput sekaligus menginap dirumahnya. Lagi-lagi, saya diberikan jalan yang lapang, teman saya bersedia membantu, bahkan akan ikut bersama saya menyaksikan langsung pertandingan tersebut. Memang sepertinya saya benar-benar sedang hoki kala itu, lancar banget semua rencana saya. Akhirnya tiba pada H-1 pertandingan. Saya berangkat menuju Jakarta dengan menggunakan pesawat yang harga tiketnya hanya Rp. 80.000 tadi. Tiba di bandara Internasional Soekarno-Hatta, saya dijemput oleh teman saya yang berdomisili di Tangerang. Saya menginap semalam dirumahnya. Pagi harinya saya berangkat menuju SUGBK dari Tangerang menggunakan dua motor. Satu motor untuk saya dan teman saya, dan satu motor lainnya untuk teman dari teman saya. Bertiga kami berangkat sekitar pukul 10 pagi dari Tangerang. Ini pengalaman pertama saya menelusuri Jakarta dengan menggunakan motor. Saya benar-benar merasa salut dengan orang di kawasan ini. Setiap hari harus berhadapan dengan kemacetan yang menurut saya emang udah benar-benar akut, parah dan gila.

Setelah mengambil hadiah tiket, selanjutnya kami pergi ke SUGBK untuk membeli tiket bagi dua teman saya. Kala itu antrian pembelian tiket tidak terlalu ramai, maklum ini pertandingan pembuka dan waktu itu juga hari kerja. Seluruh tiket sudah ditangan, kick off pertandingan masih sekitar enam jam. Sambil menunggu kick-off, teman saya mengajak untuk ke daerah Blok M, dia mendapat titipan barang dari orang tuanya. Kurang lebih kami menghabiskan waktu dua jam disana. Empat jam tersisa kami gunakan untuk menunggu ditempat lain. Kali ini tujuannya adalah daerah Setia Budi, dimana didaerah tersebut ada serang kawan lama kami yang dulu pernah tinggal satu kosan kala masih kuliah di Jogja. Dan kebetulan lagi, teman saya juga berencana akan menyaksikan pertandingan timnas. Pas deh, jadinya kita berangkat bersama-sama menuju SUGBK setelah numpang istirahat dikosannya selama lebih dari dua jam. Sesampainya di kawasan SUGBK, keadaan sudah mulai ramai. Banyak pedagang yang menjual berbagai atribut serba merah ala timnas. Banyak juga suporter yang mulai berdatangan dengan berbagai aksesorisnya. Semua orang terlihat bagitu optimis dengan pertandingan tersebut. Mayoritas sangat yakin bahwa timnas Indonesia akan mampu mengalahkan Malaysia.

Kala itu, saya dan teman-teman menunggu kick off di bagian luar dari SUGBK. Kami berniat untuk menunggu bapak saya yang berangkat dari Surabaya untuk nantinya bersama-sama masuk ke dalam stadion. Akan tetapi hingga 30 menit menjelang kick off, bapak saya belum juga sampai. Beliau masih terjebak kemacetan dalam perjalanannya dari kawasan Cengkareng menuju Senayan. Akhirnya saya persilahkan teman saya untuk lebih dulu masuk ke dalam stadion. Saya tetap berada diluar untuk menunggu bapak saya. Sampai akhirnya, tepat 10 menit sebelum kick off, bapak saya telah tiba di SUGBK. Kami berdua harus lari untuk masuk kedalam Stadion. Sempat juga kami dan banyak calon penonton lainnya diharuskan untuk melompat pagar yang melintasi lingkar luar SUGBK. Sebab kala itu pagar utamanya ditutup oleh pihak keamanan, saya sendiri kurang tahu alasannya apa. Padahal, pada hari itu penonton yang datang untuk menyaksikan pertandingan terhitung cukup banyak. Sebenarnya apabila tidak berlaripun, kami masih bisa menyaksikan pertandingan secara utuh, kalaupun tertinggal mungkin juga hanya beberapa menit saja. Akan tetapi, buat saya dan bapak saya, ada satu momen penting yang tidak boleh kami tinggalkan, bagi saya pribadi bahkan diharamkan apabila sampai melewatkan momen tersebut. Momen yang saya maksud adalah ketika sebelum dilangsungkannya pertandingan kedua tim terlebih dahulu menyanyikan lagu kebangsaan. Menyanyi lagu kebangsaan, Indonesia Raya, kala menyaksikan langsung pertandingan timnas Indonesia adalah wajib untuk diikuti. Sulit untuk menggambarkan bagaimana pentingnya momen tersebut bagi saya. Yang pasti saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, sejenak diri ini merasa menjadi “Indonesia seutuhnya”, semangat dalam diri begitu membara, menyala bagai api yang tak akan padam.

Akhirnya, saya kembali lagi masuk ke dalam SUGBK setelah sebelumnya pada tahun 2007 sempat menyaksikan langsung pertandingan timnas. Beruntung ketika kami telah masuk ke dalam stadion, kami belum tertinggal momen tersebut. Sebagian pemain dari kedua tim baru saja melakukan pemanasan, dan kemudian mereka kembali ke ruang ganti. Sempat juga terdengar oleh saya, banyak sekali suporter yang melakukan provokasi terhadap pemain Malaysia. Wajar memang, kala itu hubungan kedua negara sedang memanas. Selang beberapa menit kemudian, diiringi dengan FIFA fair play anthem seluruh pemain dan official dari kedua tim memasuki lapangan. Sontak seisi stadion yang kala itu berisi lebih dari 62.000 penonton menjadi riuh. Firman Utina yang menjadi kapten, memimpin barisan skuad garuda dalam pertandingan tersebut. Tim Indonesia yang kala itu dibesut oleh Alfred Riedl tampil dengan beberapa muka baru di skuad inti yang diturunkan. Zulkifly Sukur, M. Nasuha, Ahmad Bustomi, Octavianus Maniani, Irfan Bachdim dan pemain yang baru saja mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, Cristian Gonzales merupakan debutan yang mengisi skuad utama timnas Indonesia. Mereka bahu-membahu dengan muka lama timnas macam Markus, Maman, Hamka maupun M. Ridwan. Sedangkan di bangku cadangan ada Ferry, Arif Suyono, Eka Ramdani, Tony Sucipto Bambang Pamungkas dan juga terdapat dua muka baru yaitu Benny Wahyudi dan Yongki Ariwibowo.

Tim Malaysia tampil dengan kostum mereka, warna kuning-hitam. Sedangkan Indonesia tampil dengan kostum kebanggaan berwarna merah-putih, disertai lambang garuda pancasila di bagian dada. Penonton diminta untuk berdiri ketika lagu kebangsaan kedua negara dikumandangkan. Malaysia mendapat giliran pertama. “Maling… Maling!! Maling… Maling!!”. Berkali-kali kata tersebut diucapkan oleh puluhan ribu suporter timanas Indonesia. Mungkin anda akan mengatakan bahwa ini merupakan salah satu tindakan yang belum dewasa dari suporter kita. Tapi akan berbeda ceritanya apabila anda yang berada pada posisi suporter di dalam stadion. Akan sulit untuk menghindar dari atmosper yang kala itu sangat kuat. Anda akan dengan mudah terbawa arus ketika berada disana. Jujur, ketika lagu kebangsaan Malaysia dikumandangkan suasananya benar-benar ricuh, sama sekali tidak khidmat. Kemudian, giliran Indonesia Raya yang dikumandangkan. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, momen ini merupakan momen yang menurut saya benar-benar memiliki daya tarik magis yang sangat kuat. Sontak bulu kuduk saya berdiri ketika seisi stadion secara lantang menyanyikan lagu ini. Bapak saya yang kesehariannya kalem, terlihat begitu meledak-ledak ketika menyanyikan lagu tersebut.

Pertandingan babak pertama dimulai. Diawal laga, terlihat kedua tim masih hati-hati. Keduanya memilih untuk membaca permainan lawan terlebih dahulu. Di menit ke-18 Malaysia terlebih dahulu mengambil inisiatif serangan. Melalui kaki Norshahrul, gawang Markus berhasil dibobol. Seisi stadion sempat terdiam, akan tetapi setelah itu seluruh suporter kembali melantunkan yel-yel dukungan tanpa henti. Tertinggal satu gol membuat Indonesia semakin gencar melancarkan serangan. Keunggulan Malaysia pun tidak bertahan lama, selang empat menit kemudian, berawal dari penetrasi dari M. Nasuha dari sisi kanan pertahanan Malaysia, Asraruddin salah mengantisipasi crossing dan berakibat pada terciptanya gol bunuh diri. Keadaan kembali imbang 1-1. Gempuran serangan Indonesia masih berlanjut dan kali ini semakin intens. Di menit ke-33 melalui ketenangan dan ketepatan tendangannya, Cristian “el-loco” Gonzales berhasil mencetak gol di partai debutnya. Keadaan berbalik dengan keunggulan Indonesia 2-1. Hasil ini bertahan hingga turun minum.

Babak kedua dimulai, Malaysia yang kala itu diisi dengan mayoritas pemain muda sempat memberikan perlawanan yang sengit. Akan tetapi usaha tersebut sia-sia, di menit ke-52 melalui akselerasinya M.Ridwan kembali menambah gol keunggulan bagi Indonesia. Indonesia 3-1 Malaysia. Dengan keunggulan tersebut, Alfred Riedl mulai melakukan pergantian, menyimpan tenaga pemain inti untuk pertandingan selanjutnya. Arif “keceng” Suyono kemudian dimasukkan. Tidak butuh waktu lama untuknya membuktikan kualitas yang ia miliki. Berkat penempatan posisi yang bagus, dia mampu mencetak gol ke empat Indonesia. Di menit-menit akhir pertandingan “selebriti sepak bola” Indonesia, Irfan Bachdim akhirnya melengkapi kemenangan 5-1 Indonesia atas malaysia setelah berhasil memanfaatkan umpan silang dari Octo Maniani. Tanpa saya sadari, suara saya serak, sepanjang pertadingan tidak hentinya saya berteriak kegirangan. Demikian pula dengan bapak saya, sepanjang pertandingan beliau terlihat begitu urakan, walaupun dari pagi belum sempat beristirahat. Ketika di stadion pun beliau masih mengenakan celana dinas, hanya kemeja saja yang sempat ganti.

Kami tidak sempat berlama-lama di dalam stadion, Bapak saya mengajak bergegas meninggalkan SUGBK untuk menghindari kemacetan. Saya pun tidak sempat berpamitan dengan teman saya, karena didalam stadion kami berada pada tribun yang terpisah. Meskipun badan terasa begitu lelah dan suara yang nyaris habis, tetapi malam itu saya bisa tidur dengan sangat nyaman. Paginya saya kembali pulang ke Jogja, kali ini saya naik kereta api. Keberuntungan saya masih berlanjut disini, karena Bapak saya berbaik hati membelikan tiket kereta eksekutif eksekutif. Di sepanjang perjalanan banyak penumpang lain yang bertanya kepada saya mengenai pertandingan tersebut. Maklum, kala itu saya memakai kaos timnas yang semalam sebelumnya saya beli di pelataran SUGBK. Dengan sumringah saya pun menceritakan pengalaman luar biasa tersebut. Tidak berlebihan apabila saya menyebut momen ini merupakan salah satu momen tak terlupakan saat mendukung skuad garuda.

Thursday, May 31, 2012

The Prince of Botanist, The Pliny of North, The Second Adam, “L”


Carl Linnaeus has a variety names. Swedes know him as Carl von Linné, the name he took when raised to the nobility in 1757. In the Anglo-Saxon world he is normally referedto as Carl Lenneaus, which name he was given at his baptism. The Latin ending of his sur-name indicates academic status, without which he would have been called Carl Nilsson, after his father. Then again, Linnaeus has been called Princeps botanicorum, the Prince of Botanist, “The Pliny of the North”, “The Second Adam” and other names besides. To present-day botanist and zoologist who concrn themselves with matter of taxonomy, he is jus plain “L.”, the letter which indicates the naming of an outstandingly large number of imoportand organism.
A Swedish proverb says that a loved child has many names. Perhaps the same goes for an importand person, and it was certaintly no common occurrence for a scientist and professor to be elevated to the nobility. Not many scientists were accorded equality of status with Pliny, the great natural historian of antiquity. And of course it was grander still to camper Linnaeus with the ruler of Paradise and the first namer of animals. Thousands of plants and animals remind us of the person who named them, and innumerable garland of flowers have been tied in honour of Linnaeus. Every Swedish povince has its emblematic flower, and the Twinflower, provincial emblem of Smaland, is called Linnea after the great son of that province, putting all Swedes in mind of him personally. Not until the earth once more lies empty and desolate will the name of Linnaeus be forgotten.
Linnaeus made rather a big thing of his humble origins. “A great man can step forth from  a small origins,” he wrote in one of his autobiographies. However charming and uncomplicated he might seem, he was supremely career-minded. This, however, is to moralise, and as a historian one ought rahter tahan emphasise the social mobility so typical of Swedish society at the time. Linnaeus’ grandfather was a peasant, his fahter entered the Church, he himself became a physician and eventually a professor and a member of the nobility. One could scarcely advance any futher than that. Sweden was a relatively open society whose agrarian population was traditinally endowed with strength and liberty.
Trought the centuries, the culture of the parsonage has been the backbone of science and the arts in Sweden. This is due to the close connection between Church and State in Sweden during the 17th century, known is Swedish as “the Age of Greatness”. The Lutheran Church was indispensable to the State as an educator of the peasant population in peacetime and as shepherd of souls in the great wars of the period. The glory and the misery of the time demanded moral fibre. When te bubble burst, with the death of Charles XXI on his Norwegian campaign in 1718, the established Church remained to pilot the country into the more pacific and culturally fertile Age of Liberty.

Tuesday, May 29, 2012

Karimunjawa: Setelah Anda Menginjakkan Kaki Disana, Akan Sulit untuk Mencari Tandingannya


Judul diatas tidaklah berlebihan. Anda akan mengamini pernyataan saya tersebut setelah berkunjung, melihat dan merasakan langsung betapa indahnya pulau di utara Jawa tersebut. Satu tahun yang lalu tepatnya pada 14-17 Mei 2011, saya bersama dengan beberapa teman berkunjung ke pulau Karimunjawa. Kami berlima, berangkat dari Jogja dengan menggunakan mobil salah satu teman saya untuk kemudian menuju pelabuhan di Jepara. 


Kami memulai perjalanan pada malam sebelumnya, dikarenakan kapal yang akan membawa kami ke pulau Karimunjawa berangkat pada pukul 7 pagi. Kala itu, kami memilih untuk menggunakan jasa tour, kami memilih jasa yang ditawarkan oleh agen “Putra Karimunjawa”. Salah satu pertimbangan utama kami adalah biaya yang ditawarkan lebih murah (maklum, mahasiswa budgetnya mepet :p).


Perjalanan yang kami tempuh cukup berat. Pada tanggal keberangkatan kami adalah long weekend, otomatis orang yang berencana berkunjung ke Karimunjawa membludak. "Cobaan" terberat yang harus kami hadapi untuk menuju Karimunjawa adalah ketika kami menaiki Kapal Muria, salah satu dari dua kapal yang memiliki rute tujuan Karimunjawa. Kapasitas kapal yang seharusnya maksimal diisi dengan 250 orang, terpaksa harus diisi lebih dari 500 orang. Jujur muncul ketakutan dengan situasi tersebut, akan tetapi kami sudah "kepalang tanggung" tinggal sejengkal lagi kami akan melihat langsung keindahan Karimunjawa yang sebelumnya hanya bisa kami nikmati dari foto-fotonya di internet. 


Keadaan kapal yang over capacity ternyata belumlah seberapa. Perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ke pulau Karimunjawa ternyata memakan waktu hingga lima jam. Momen diatas kapal Muria mungkin menjadi salah satu momen paling membosankan atau bahkan menegangkan dalam hidup kami. Meskipun demikian, selama berada diatas laut Jawa, beruntung kami bertemu dengan sekawanan lumba-lumba yang dengan manis menyapa. Sekelompok hewan yang mulai sulit ditemui ini dengan manja melompat-lompat seakan menggoda kami semua. Pertemuan tersebut bagaikan oase ditengah padang pasir luas yang harus kami lalui. 


Baiklah, khusus untuk artikel kali ini, saya tidak akan banyak menulis. Saya akan lebih banyak berbagi foto-foto saya dan teman-teman ketika berkunjung kesana. Sebagian besar foto yang saya share dalam artikel ini adalah 100% asli, tanpa ada editan dari software tertentu. Kecuali dua foto, dengan model utamanya saya :) hehehe. Baiklah, saya akan mencoba memberi gambaran bagaimana liburan saya berlangsung dengan foto-foto berikut:


1. kedatangan kami di pelabuhan karimunjawa.
 2. foto bersama bareng teman satu kos
 3. suasana kamar di penginapan
 4. malam mingguan di alun-alun karimunjawa
 5. hari pertama menuju "surga dunia"
 6. gaya dulu diatas kapal :)
 7. bagaikan karang dibalik kaca
 8. salah satu "pose wajib"
 9. makan siang spesial dari Putra Karimunjawa
 10. sambal dan ikan bakarnya JUARA!!
 11. pake sunblock dulu :)
 12. bagaikan karang dibalik kaca II
 13. keindahan pulaunya membuat kami gila I
 14. pasir putih, lautan biru, langit cerah I
 15. pasit putih, lautan biru, langit cerah II
 16. begitu jelas karang terlihat
 17. foto bareng mas Faul, guide dari Putra Karimunjawa
 18. laut dan ikan di pulau Maer
 19. keindahan pulaunya membuat kami gila II
 20. bercinta dengan alam bawah laut karimunjawa I
 21. bercinta dengan alam bawah laut karimunjawa II
 22. bercinta dengan alam bawah laut karimunjawa III
 23. bercinta dengan alam bawah laut karimunjawa IV
 24. bercinta dengan alam bawah laut karimunjawa V
 25. salah satu teman yang beruntung bercumbu dengan "NEMO" I
 26. salah satu teman yang beruntung bercumbu dengan "NEMO" II
 27. Karimunjawa TOP!!!





















Khusus untuk foto pertama dan terakhir ini, memang diedit, akan tetapi seandainya tidak diedit pun, keindahan alam Karimunjawa tetap menawan. Ketika anda berkunjung kesana, sejenak anda akan sadar bahwa bumi nusantara ini benar-benar indah. Segala kejadian dan berita negatif mengenai negeri ini tiba-tiba sirna dari fikir. Kekaguman terhadap keindahan dan kekayaan alam nusantara akan kembali tumbuh ketika anda bercinta dengan keindahan karang, lucunya ikan dan birunya lautan Karimunjawa. 


Saat ini, pariwisata di Karimunjawa mulai menggeliat, bahkan akhir-akhir ini berkembang dengan pesat. Kini setiap harinya terdapat dua penyeberangan menuju Karimunjawa, dan waktu yang ditempuh juga hanya dua jam saja. Nah, untuk itu bagi kalian yang belum sempat berkunjung kesana saya sarankan segera rencanakan. Bagi yang sudah lama merencanakan, segera realisasikan. karena saya jamin setelah anda menginjakkan kaki disana, akan sulit untuk mencari tandingannya.