Thursday, March 14, 2013

Jejak Sejarah Sepak Bola

Setelah sebelumnya saya pernah menulis mengenai darimana asal-muasal sepak bola, kali ini saya akan berbagi sedikit informasi mengenai jejak sejarah permainan sepak bola di berbagai belahan dunia. Sepak bola memiliki sejarah yang panjang, mulai dari olah raga yang digunakan untuk mengasah fisik sampai dengan olah raga yang dijadikan sebagai media perang antar suku. Model permainan dan aturan yang berlaku juga berbeda-beda di berbagai tempat. Maklum, kala itu sepak bola modern belum ditemukan dan peraturannya pun belum disempurnakan seperti saat ini.

FIFA telah mengakui bahwa sepak bola berasal dari benua Asia, tepatnya dari negeri China. Manuskrip mengenai sepak bola tersebut menyatakan bahwa olah raga ini telah dimainkan secara turun-temurun sejak masa dinasti Tsin (255 - 206 SM). Dalam manuskrip itu disebutkan bahwa sepak bola diperoleh secara turun-temurun sejak 5000 tahun sebelumnya.  Nama untuk permainan ini sendiri kala itu adalah tsu chu. Arti dari kata tsu chu sendiri adalah ‘menendang bola’ dan munculnya berasal dari kepercayaan China kuno.

Relief orang Yunani yang memainkan episkyro
Sedangkan di benua Eropa, jejak mengenai permainan sepak bola bisa ditelusuri setelah ditemukannya dokumen mengenai sepak bola di Yunani dan Romawi. Di Yunani, bermain bola sudah dikenal pada tahun 800 SM dengan nama episkyro. Salah satu bukti sejarah yang dapat ditelusuri terkait dengan adanya relief di National Museum of Archeologi di kota Athena. Relief itu menggambarkan seorang Yunani yang sedang bermain bola dengan kakinya.

Pasukan Romawi yang menyerbu Yunani pada 146 SM kemudian mengadopsi permainan ini dan menyebarkannya seiring penaklukan wilayah-wilayah Eropa. Oleh orang Romawi sendiri, episkyro mereka sebut dengan harpastrum. Kaisar Romawi, Julius Caesar, tercatat sebagai penggemar harpastrum. Dia memilih olahraga sebagai wadah bagi para pasukannya untuk mengasah fisik mereka.

bangsa Romawi bermain harpastrum
Permainan ini semakin popular ke suluruh pelosok negeri. Orang Romawi kala itu sering memainkan harpastrum sebagai olahraga pagi di lapangan yang disebut dengan palaestra. Harpastrum juga berkembang menjadi berbagai jenis permainan, mulai dari bola tangan (expulsim ludere), hoki, harpasta, phaininda dan olah raga yang saat ini disebut dodge ball.

Di Roma, luas lapangan harpastrum menyesuaikan dengan jumlah pemainnya. Pernah suatu ketika, harpastrum dimainkan oleh lebih dari 100 orang sehingga olah raga ini kala itu justru lebih menyerupai kerusuhan massal. Penulis Romawi, Horatius Flaccus dan Virgilius Maro, menyebut harpastrum sebagai “permainan biadab”. Olahraga ini pada perjalanannya kemudian dilarang untuk dimainkan diseluruh wilayah Romawi.

Bangsa Inggris mulai mengenal sepak bola pada abad ke-2. Mereka mulai memainkan sepak bola setelah berhasil mengalahkan tentara Romawi kala itu. Sama seperti Romawi, permaian bola di Inggris jauh lebih brutal karena dimainkan di lapangan yang luas atau jalanan yang berjarak 3-4 km. King Edward II menyebut sepak bola sebagai “permainan setan yang dibenci Tuhan”.

Pada April 1314, dia melarang rakyatnya untuk memainkan melakukan olahraga ini, terutama untuk kalangan ningrat karena menggunakan tengkorak sebagai bola. Raja juga khawatir jika prajurit terlalu sering bermain bola makan mereka lupa untuk mengasah kemampuan berkuda dan memanahnya. Pelarangan memainkan sepak bola di tanah Britania kemudian berlanjut hingga Ratu Elizabeth I bertahta (1533-1608).

Philip Stubbes pada 1583 menulis buku dengan judul The Anatomie of Abuses dan menggambarkan kekerasan dalam sepak bola kala itu dengan jelas. “Ratusan orang mati dalam satu pertandingan yang berlangsung dengan brutal” tulisnya. Pemain yang selamat banyak yang cedera parah. Patah kaki, remuk tulang punggung, kepala bocor, mata buta merupakan jenis-jenis cedera yang seringkali dialami orang yang memainkan sepak bola kala itu.

Begitu brutalnya olah raga ini membuat Stubbes juga secara konsisten mengkampanyekan penolakan terhadap sepak bola. Pihak geraja pun ikut turun tangan dengan kondisi ini. Sepak bola kala itu sering dipertandingkan pada hari minggu yang merupakan hari Sabath. Pihak gereja kemudian memberikan respon dengan mengeluarkan peraturan bahwa siapa saja yang kedapatan bermain bola akan dihukum penjara selama seminggu.

penduduk Normandy bermain la soule
Di wilayah Perancis, sepak bola mulai dikenal pada 50 SM dari tentara Romawi. Olah raga ini kemudian dikenal dengan sebutan la soule. Permainan ini dikembangkan oleh orang-orang dari daerah Normandy dan Picardy. Jumlah pemain tiap tim adalah 20-200 orang. Orang Perancis memainkan la soule atau choule tanpa menggunakan peraturan yang jelas dan tanpa batasan jumlah pemain. Bahkan seringkali pertandingan berlangsung hingga beberapa hari. Akibatnya, Raja Felipe V pada tahun 1319 melarang la soule yang kemudian juga dilanjutkan kebijakan serupa oleh raja-raja setelahnya.


Setelah berakhirnya era kekaisaran Romawi, sepak bola telah mengalami banyak perkembangan, terutama dalam teknis dan aturan permainan. Salah satu perkembangan signifikan terhadap permainan ini adalah ketika orang Florence memainkan calcio. Aturan dari calcio sudah jelas. Setiap tim beranggotakan lebih dari 27 orang. Cara bermainnya juga sederhana; menendang, mengumpan dan menggiring bola untuk dibawa ke garis pertahanan lawan. Kala itu belum ada gawang yang digunakan dalam permainan.


Selain di daratan Eropa dan Asia, sejarah mengenai sepak bola juga dapat dilacak keberadaannya di benua Amerika. Suku Indian dan Aztec sudah mengenal sepak bola sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka menyebut sepak bola dengan nama pasuckaukohowog. Namun khusus untuk suku Aztec, permainan bola merupakan gabungan dari basket, voli dan sepak bola sekaligus. Sedangkan untuk suku Indian, sepak bola lebih mirip perang antar suku yang di lapangan luas. Bahkan pertandingan bisa berlangsung hingga berhari-hari apabila skor masih imbang.

ilustrasi permaian pasuckaukohowog
Kadua suku ini selalu melakukan ritual sebelum berlangsungnya pertandingan. Mereka mengenakan berbagai atribut suku dan mengecat tubuh mereka layaknya akan berangkat ke medan perang. Tujuan dari diadakannya ritual sebelum pertandingan ini adalah untuk menolak bala. Di dalam setiap pertandingan, tiap tim yang bertanding bisa berjumlah 500 orang. Karena kerasnya permainan, pasuckaukohowog seringkali menyebabkan pemainnya mengalami cedera berbulan-bulan lamanya.

ilustrasi permaian aqsaqtuk
Jejak sepak bola di benua Amerika juga didapatkan dari sejarah suku Eskimo pada tahun 1600-an. Mereka menyebut sepak bola dengan aqsaqtuk yang artinya kurang lebih bermain sepak bola di es. Mereka memainkannya di es karena suku ini memang terdapat di kawasan Amerika bagian utara, salah satunya di Alaska. Permainannya melibatkan dua tim yang biasanya berasal dari dua desa. Arena pertandingannya bahkan bisa mencapai belasan kilometer panjangnya. Teknik terpenting yang dibutuhkan dari aqsaqtuk adalah kemampuan untuk menendang bola sejauh mungkin.

Monday, March 11, 2013

AS Roma; Sepenggal Kenangan Manis diawal Millennium


Headline salah satu harian olah raga di Italia
Gelar juara Serie A musim 2000/2001 yang diraih oleh Roma terasa begitu spesial. Bagaimana tidak, klub ibukota ini harus menunggu selama 18 tahun untuk kembali mendapatkan predikat numero uno di Serie A. Sebelumnya, pada akhir dekade 80-an sampai dengan pertengahan dekade 90-an menjadi musim yang kurang menyenangkan bagi Roma. Pada dekade ini, perburuan gelar Serie A lebih banyak didominasi oleh Juventus dan AC Milan. Kedatangan Franco Sensi (kala itu menjadi pengusaha minyak dan properti) yang menjadi presiden baru  Roma menggantikan Giuseppe Ciarrapico pada tahun 1993 belum mampu memperbaiki pencapaian klub. Di masa awal kepemilikannya, Roma lebih banyak bersaing di zona kompetisi Eropa.

Sebelumnya, Roma sempat memakai jasa Zeman selama dua musim, yaitu musim 1997/1998 dan 1998/1999. Dibawah Zeman, pencapaian Roma bisa dikatakan cukup baik. Roma dibawa finish ke peringkat ke-4 di musim pertama dan peringkat ke-5 di musim kedua. Akan tetapi manajemen klub pada akhirnya lebih memilih Fabio Capello untuk mengganti Zeman. Capello (pernah menjadi pemain Roma pada dekade 60-an) yang disebut sebagai salah satu pelatih terbaik Italia kala itu ditunjuk sebagai allenatore baru Roma untuk musim 1999/2000. Kedatangan Capello juga dibarengi dengan didatangkannya sejumlah nama-nama baru, antara lain Motella, Nakata, C. Zanetti, Assuncao, dan Antonioli.

Pada musim 1999/2000 gelar juara Serie A akhirnya kembali ke ibukota. Akan tetapi gelar tersebut bukan didapatkan oleh Roma, melainkan diraih klub seteru abadi yang juga berasal dari kota Roma, Lazio. Kedatangan Capello dan sejumlah pemain baru belum bisa memberikan pencapaian maksimal untuk klub. Di musim tersebut, Roma hanya mampu finish di peringkat ke-6 klasmen. Pencapaian klub tetangga pada musim itu menjadi salah satu faktor pendorong terbesar bagi Roma untuk meraih gelar di musim selanjutnya. Selain itu, Romanisti juga makin lantang menyerukan tuntutan kepada manajemen untuk segera merealisasikan gelar juara.

Seiring dengan bergantian millennium, Roma menyambut musim 2000/2001 dengan optimis. Klub telah melakukan beberapa koreksi terhadap komposisi pemain. Ada 4 tokoh sentral dalam proses perubahan yang dilakukan Roma. Mereka adalah Franco Sensi, Daniele Prade, Franco Baldini dan Fabio Capello. Franco Sensi menjadi salah satu tokoh sentral karena pada musim itu dia menyanggupi pengeluaran yang besar untuk transfer pemain. Diperkirakan musim itu Roma total menghabiskan dana €86.592.000 untuk belanja pemain. Sedangkan Daniele Prade dan Franco Baldini merupkan dua tokoh sentral atas keberhasilan Roma dalam perburuan pemain di bursa transfer. Walter Samuel, Emerson, Zebina dan Gabriel Batistuta adalah deretan pemain yang berhasil digaet.

Di musim kedua dibawah arahan Capello, formasi baku yang digunakan Roma adalah 3-5-2. Komposisi pemain yang dimiliki cukup mumpuni di setiap lini. Di lini depan, formasi 3-5-2 a la Capello sedikit dikembangkan dengan menempatkan Totti di belakang dua penyerang. Ditangannya, Totti (sebelumnya sudah menjadi kapten tim sejak usia 21 tahun) semakin bersinar di usianya yang ke-24 tahun. Il Bimbo d'Oro menjadi pemain sentral sebagai kreator permainan Roma. Bersama dengan Batistuta dan Montella, ketiga pemain ini menjadi kombinasi tridente maut lini depan Roma. 

Ketajaman barisan tridente Roma semakin solid karena mendapat dukungan penuh dari lini tengahnya. Marcos Cafu dan Vincent Candela menjadi pendobrak serangan dari kedua sisi lini tengah Roma. Cafu menjadi pemain vital di sisi kanan permainan Roma. Dengan kecepatannya, “Pendolino” (kereta ekspress) aktif membantu penyerangan maupun membantu pertahanan tim. Demikian pula dengan Vincent Candela, permainan pemain asal Perancis ini semakin berkembang pasca menjadi bagian dari skuad timnas Perancis ketika berhasil meraih gelar juara di Piala Dunia 1998.

Di musim keduanya bersama Roma, C. Zanetti memegang peranan penting di sektor tengah Roma. Bersama dengan Damiano Tommasi, mereka mampu berkolaborasi  menjaga keseimbangan permainan tim dengan apik. Selain itu, untuk mengisi barisan pelapis ada nama Emerson, Assuncao dan Nakata yang dalam perjalanannya mampu memberikan kontribusi positif bagi tim. Di sektor pertahanan, Roma memiliki trio kokoh yang digalang oleh Zebina, Samuel dan Zago. Dalam beberapa pertandingan, Capello juga memainkan salah satu legenda Roma yaitu Aldair menjadi libero. Untuk posisi kiper Capello tetap menaruh kepercayaan pada Antonioli, pemain yang merupakan “permintaan khusus” untuk didatangkan dari Bologna saat ia ditunjuk untuk melatih Roma.

Roma mengawali musim dengan hasil yang menjanjikan. Giornata pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober 2000, Roma kedatangan Bologna di Olimpico. Pertandingan dimenangkan Roma dengan skor 2-0, dimana gol dicetak Totti dan gol bunuh diri dari Castellini. Kemenangan Roma berlanjut di dua giornata selanjutnya, yaitu kemenangan tandang 0-4 melawan Lecce dan 3-1 kala menjamu Vicenza di Olimpico. Enam dari total sembilan gol Roma di tiga pertandingan awal musim berasal dari tridente (Totti 3, Batistuta 2, Montella 1). Kemenangan beruntun Roma harus terhenti ketika bertandang ke kota Milan. Roma harus takluk 2-0 dari tuan rumah Inter Milan melalui gol yang dicetak oleh Hakan Sukur dan Alvaro Recoba.

Setelah kekalahan dari Inter Milan, Roma memberikan respon yang sangat positif. i Giallorossi mampu bangkit dengan pencapaian yang mengesankan. Roma tidak terkalahkan dalam sepuluh pertandingan, dengan capaian tujuh kemenangan dengan tiga hasil seri. Akan tetapi hasil ini kembali dihentikan oleh tim dari kota Milan. AC Milan yang menjadi tuan rumah berhasil mengandaskan Roma dengan skor 3-2. Akan tetapi di dua pertandingan sisa paruh pertama musim itu, Roma kembali dapat meraih kemenangan melawan Napoli dan Parma. Roma menjadi pemimpin klasmen di paruh musim dengan keunggulan enam poin dari Juventus, pesaing terdekat dalam perburuan gelar juara Serie A musim itu.

Pada paruh kedua musim kompetisi, Lazio kembali dalam jalur perburuan gelar juara. Akan tetapi Roma berhasil mempertahankan tren pencapaian positifnya. Pertandingan melawan Inter Milan di Olimpico merupakan salah satu partai penting bagi Roma. Selain mengusung misi “balas dendam”, Roma juga harus mempertahankan jarak dengan Juve dan Lazio. Pertandingan dimenangkan oleh Roma dengan skor 3-2, tiga gol Roma diborong oleh Montella. Ketiga gol itu pula lahir dari sundulan ‘il Aeroplanino’. 

Memasuki akhir bulan Maret, Roma masih kokoh memimpin dipuncak klasmen. Unggul 9 poin dari peringkat kedua, Juventus. Hal ini berkat tujuh pertandingan tak terkalahkan, dimana enam laga diantaranya berhasil dimenangi Roma. Akan tetapi memasuki bulan April tepatnya di giornata ke-25, Roma akhirnya mengalami kekalahan ketika bertandang ke Artemio Franchi dengan skor 3-1 untuk tuan rumah Fiorentina. Hasil negatif ini kemudian berlanjut kala Roma menjamu Perugia di partai kandang. Roma hampir saja kalah di partai itu kalau saja tidak tercipta gol bunuh diri dari Tedesco di menit ke-90.  Walaupun di pertandingan selanjutnya Roma berhasil mengalahkan Udinese, akan tetapi Roma dihadapkan pada dua pertandingan krusial beruntun, masing-masing melawan Lazio dan Juventus.

Ketika berlangsung pertandingan derby della capitalle nampaknya akan berakhir dengan kemenangan Roma. Hingga menit ke-55 Roma berhasil memimpin berkat gol dari Batistuta dan Delvecchio. Pavel Nedved berhasil mencetak gol bagi Lazio pada menit ke-78. Skor 2-1 sempat bertahan hingga menit ke-94. Hingga pada akhirnya Lucas Castroman membuyarkan kemenangan Roma yang sudah didepan mata ketika dia mencetak gol di menit ke-95. Skor akhir 2-2 menjadi pencapaian yang cukup baik bagi I Lupi. Optimisme untuk meraih gelar juara semakin tinggi. Banyak yang meyakini bahwa gelar tersebut akan didapatkan ketika bertandang ke Turin melawan Juventus.

Sebagian besar Romanisti menyiapkan malam berlangsungnya pertandingan melawan Juve sebagai unofficial Scudetto showdown. Keyakinan untuk mengalahkan Juve bagitu tinggi, hal ini justru malah berdampak pada permainan Roma di babak pertama. Meskipun sempat menyerang diawal laga melalui Delvecchio, akan tetapi justru Juve yang berhasil unggul cepat ketika pertandingan baru memasuki menit ke-4 melalui Del Piero. Konsentrasi pemain pun buyar. Belum sempat memperbaiki permainan, Juve menggandakan keunggulan melalui pahlawan kemenangan Perancis di Piala Dunia 1998, Zidane. Babak pertama Roma tertinggal 2-0 dari tuan rumah.

Di babak kedua, Capello memasukkan Montella untuk mengganti Delvecchio. Akan tetapi, suplai bola dari lini tengah Roma masih minim ke lini depan. Perubahan strategi kembali dilakukan, C. Zanetti ditarik keluar dan digantikan Assuncao. Meskipun permainan Roma membaik, akan tetapi belum juga membuahkan hasil, hingga akhirnya Capello melakukan sebuah pergantian yang fenomenal. Sang kapten, Francesco Totti ditarik keluar dan digantikan oleh Hidetoshi Nakata. Banyak yang mempertanyakan strategi yang dijalankan Capello. Demikian pula dengan Totti yang terlihat menunjukkan gelagat kecewa ketika dengan emosional melemparkan ban kapten kepada Tommasi sebelum meninggalkan lapangan.

Akan tetapi, strategi Capello membuahkan hasil. Pada menit ke-78 Nakata berhasil mencetak gol melalui tendangan keras dari luar kotak pinalti. Bola dengan deras menghujam pojok kanan gawang Van der Sar. Setelah gol tersebut, Juve yang kala itu ditangani Carlo Ancelotti mencoba untuk mengamankan kemenangan dengan memperkokoh lini pertahanan. Del Piero ditarik keluar dan digantikan oleh Antonio Conte. Delapan menit kemudian, Juve kembali memasukkan pemain bertahan, Ciro Ferrara menggantikan Mark luliano. Akan tetapi serangan Roma semakin intens, puncaknya terjadi pada menit ke-90. Nakata kembali melancarkan tendangan keras ke pojok kiri gawan Van der Sar. Bola sepakan Nakata tidak dapat ditepis sempurna oleh Van der Sar dan bola rebound berhasil disasar Montella. Gol…2-2. Hasil imbang bertahan hingga peluit akhir dibunyikan.

Gelar juara belum sepenuhnya diraih oleh Roma, karena masih ada lima pertandingan sisa. Atalanta dan Bari sukses dibenamkan La Magica. Laga tandang melawan Milan juga sukses dilalui dengan hasil imbang. Ini artinya, kemenangan tandang melawan Napoli akan memastikan gelar juara bagi Roma. Akan tetapi partai melawan Napoli bukanlah pertandingan yang mudah. Pertemuan kedua tim yang juga sering disebut dengan derby del sole ini juga merupakan laga penting bagi pasukan Partenopei. Mereka harus meraih hasil maksimal agar terhindar dari degradasi. Laga pun berakhir imbang 2-2, dan kembali lagi Roma harus menunda gelar Scudetto hingga pertandingan terakhir Serie A musim tersebut.

Di partai pamungkas, Roma menjamu Parma di Olimpico. Seluruh stadion penuh sesak oleh puluhan ribu Romanisti yang memadati Olimpico. Dahaga akan gelar nampaknya sudah tidak tertahankan bagi mereka. Rentang waktu 18 tahun penantian mereka akan terwujud dalam 90 menit pertandingan yang akan menjadi momen bersejarah bagi tifosi, pemain dan klub. Kemenangan merupakan harga mati bagi Roma untuk menyempurnakan pencapaian bagus mereka selama semusim. Gelar juara bisa saja melayang ketangan Juventus, hal ini disebabkan karena kedua tim hanya berbeda dua poin saja.

Bukan perkara mudah untuk mengalahkan Parma. Di musim itu pula, Parma merupakan sebuah tim yang solid. Parma kala itu dihuni oleh skuad yang mumpuni dan potensial karena sebagian merupakan pemain muda. Marco Di Vaio, Savo Milosevic, Mathias Almeyda, Diego Fuser, Lilian Thuram, Gianluigi Buffon, Paolo dan Fabio Cannavaro merupakan deretan pemain muda yang bersinar bersama Parma di musim itu. Dibawah asuhan Alberto Malesani, tim ini bahkan berada di posisi ke-4 klasmen mengungguli Milan dengan selisih tujuh poin. Mereka juga telah memastikan satu tempat di Liga Champion, jadi apapun hasil dari pertandingan melawan Roma tidak akan banyak berpengaruh bagi mereka.

Totti merayakan gol pembuka pada laga melawan Parma
Pertandingan berjalan dengan ketat. Roma mengawali laga dengan baik. Tridente Totti, Batistuta dan Montella dimainkan sejak menit pertama. Duet Di Vaio dan Milosevic juga sesekali memberikan tekanan. Kebuntuan akhirnya pecah di menit ke-19. Berawal dari pergerakan Candela di sisi kanan pertahanan Parma, pemain dengan nomor punggung 32 ini melakukan penetrasi ke kotak pinalti Parma. Melihat Totti melakukan pergerakan tanpa kawalan, Candela melepaskan umpan datar dan bola disambar oleh Er Pupone dengan tendangan keras. Buffon hanya bisa terpaku melihat bola masuk ke sisi kanan gawangnya. Terlihat dengan jelas gol ini bermakna begitu emosional bagi sang kapten. Dia merayakan gol dengan berlali ke arah Curva Sud dengan membuka kaosnya. Seisi stadion bergetar menyambut gol bersejarah local hero kota Roma.

Setelah gol pertama, Roma tidak mengendorkan serangan. Berawal dari pergerakan Batistuta di sisi kiri pertahanan Parma, pemain asal Argentina ini mampu masuk ke dalam kotak pinalti Parma. Dia  berhasil melepaskan tendangan keras, akan tetapi bola masih mampu ditepis oleh Buffon. Akan tetapi, Montella dengan sigap menyambar bola liar tersebut dan menceploskan gol ke gawang Parma untuk kedua kalinya. Dengan selebrasi khasnya, kembali dia berlari ke arah Curva Sud. Beberapa tifosi menyambutnya dengan pelukan penuh emosional. Babak pertama berakhir dengan keunggulan Roma 2-0.

tridente andalan lini depan Roma
Jalannya pertandingan babak kedua masih sama. Siang itu, hasrat seluruh pemain Roma begitu tinggi untuk memenangkan pertandingan. Gol yang ke-3 akhirnya datang, kali ini kembali diawali dari pergerakan Batistuta di menit ke-78. Mendapat umpan lambung dari lini belakang, setelah melewati satu bek Parma, Batistuta melepaskan tendangan keras ke sisi tiang dekat Buffon. Gol pun tercipta, Gol ke-20 untuk Batistuta dan gol ke-68 untuk AS Roma di musim itu. Gelar Juara nampaknya sudah pasti digenggaman Roma. Empat menit setelah gol Batistuta, Parma sempat memperkecil ketertinggalan melalui gol Di Vaio. Akan tetapi hasil 3-1 tetap bertahan hingga wasit Stefano Braschi meniup peluit panjang tanda berakhirnya laga.

Romanisti "menginvasi" lapangan stadion Olimpico
Sotak, puluhan ribu Romanisti meluap ke lapangan. Mereka hanyut dalam euphoria keberhasilan tim kesayangannya meraih Scudetto. Tanpa sungkan mereka melucuti jersey pemain-pemain Roma. Bahkan Totti terlihat hanya menggunakan celana dalam dan sepatu saja setelah kaos dan celananya “diminta” oleh Romanisti. 

Hari minggu, 17 Juni 2001 merupakan hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh seluruh Romanisti. Skuad AS Roma dibawah Fabio Capello untuk ketiga kalinya dalam sejarah klub mampu meraih gelar juara Serie A. Raihan tim ini juga terbilang fantastis, Roma selalu memimpin klasmen sejak awal musim. Gol yang dicetak juga menjadi gol terbanyak diantara kontestan lainnya. Dan yang paling fenomenal adalah raihan poin akhir Roma, 75 poin, merupakan raihan poin tertinggi tim di Serie A selama menggunakan sistem 18 kontestan liga (mulai musim 04/05 kontestan Serie A berjumlah 20). AS Roma di musim 2000/2001 mengingatkan kita akan sebuah kenangan. Kenangan manis di awal millennium yang akan selalu menarik untuk dijadikan ulasan.

Grazie Roma…

Roma non si discute. Roma si ama!