
Dampaknya pun kasat mata terlihat. PSSI tak leluasa merancang skuad
garuda untuk membentuk tim yang solid dan bermental tangguh. Pelatih Nil Maizar
dan (Manajer) Habil Marati dipaksa pontang-panting. Keinginan PSSI memanggil pemain Indonesia
Super League (ISL) untuk digabungkan dengan materi dari pemain Indonesia
Premier League (IPL) terus membentur tembok egoisme kelompok. KPSI sebagai
pengendali ISL selalu punya dalih berlebih untuk menghalangi niat itu.
Dalam nota kesepahaman yang diteken PSSI dan KPSI di kantor konfederasi
sepak bola Asia (AFC) 7 Juni, tegas disebutkan “Timnas dibawah yuridiksi PSSI”. Namun KPSI memilih menafsirkan lain, semangat
memaksakan kehendak tetap menggelegar. Mereka hanya melepas pemain ISL ke
Timnas jika Riedl menjadi pelatih kepala. Sebuah sikap mengada-ada. Begitulah KPSI,
didepan AFC patuh, tetapi dibelakang membangkang. Padahal Timnas semestinya
dibangun dan berlaga di level internasional hanya punya satu misi, yakni
mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Semangat timnas begitu mulia, yakni merajut beragam kepentingan demi
kejayaan bangsa. Namun, di negeri ini Timnas justru menjadi lahan bagi sebagian
orang untuk memamerkan kejemawaan. Timnas diperlukan layaknya ajang perebutan
kekuasaan politik yang sarat intrik. Timnas malah menebalkan sekat antar sesama
anak bangsa. Sekat yang menjungkir balikkan akal sehat. Simak saja ketika
Bambang Pamungkas bergabung dengan Timnas, tidak sedikit yang bersuara sumbang.
Bambang yang jelas-jelas ingin mengharumkan nama negara justru dicap
pengkhianat.
Celakanya lagi, pemerintah ikut larut dalam intrik. Menpora, Andi
Mallarangeng, sempat ogah mengucurkan bantuan dana karena menurutnya Timnas
tidak diisi pemain-pemain terbaik. Bukankah PSSI sudah membuka peluang bagi
pemain ISL tetapi dijegal KPSI? Bukankah dengan sikap itu berarti Menpora
mengkerdilkan punggawa Timnas yang ada? Memang, Menpora akhirnya membantu
Timnas Rp. 800 juta, tetapi itu amat terlambat. Bisa jadi pula ia malu, karena
sekelompok supporter lebih dulu menyumbang Rp. 56 juta hasil penggalangan dana
untuk Timnas.
Boleh saja Menpora tak peduli tak masalah jika ada orang Indonesia yang
berharap pasukan Nil Maizar hancur lebur di piala AFF, sehingga mereka punya
amunisi baru untuk menyerang PSSI. Namun percayalah, sebagian besar rakyat
tetap mencintai dan mendukung Timnas. Dalam sepak bola berlaku aksioma, tidak
ada yang tidak mungkin. Timnas boleh dipandang nyinyir, tetapi bukan mustahil
merekalah yang akan mengakhiri paceklik prestasi sepak bola nasional. Itulah yang
kita harapkan di perhelatan piala AFF.
Artikel diatas merupakan kutipan prolog dari tayangan
ulasan “Bedah Editorial Media Indonesia” di Metro TV yang kala itu mengangkat topik
“Timnas Ditengah Keterbatasan”. Sedih memang, ketika pecinta bola di Indonesia
ini dipermainkan oleh secuil oknum yang menyeret sepak bola nasional ke dalam
jurang kelam bernama politik. Seakan-akan otak, kaki dan tangan mereka telah
terpatri untuk terus menerus mengusik sepak bola negeri ini. Mereka tidak akan
pernah puas, walaupun sebelumnya mereka telah menghancurkan sepak bola nasional
dengan berbagai skandal memalukan.
Jujur, saya tidak fanatik dengan PSSI
dibawah kepemimpinan Djohar. Apalagi setelah dia mengeluarkan kebijakan
mengenai syarat klub yang tergabung di liga PSSI musim lalu. Jelas hal tersebut
menjadikan banyak pihak langsung antipati terhadap kepemimpinannya. Kemudian munculnya
La Nyalla. Komisi Penyelamat Sepak Bola Nasional, terdengar begitu manis memang
bagi pecinta sepak bola nasional yang menginginkan perbaikan. Sempat memberikan
angin segar, akan tetapi di akhir, justru kelompok ini yang Nampak nyata
sebagai Komisi Perusak Sepak Bola
Nasional.
Dalam situasi ini, posisi saya netral. Jelas bahwa kedua kelompok baik PSSI maupun KPSI sama-sama (pernah) melakukan kesalahan. Keduanya juga sama-sama memiliki sisi bejat dan kelam.
Dalam situasi ini, posisi saya netral. Jelas bahwa kedua kelompok baik PSSI maupun KPSI sama-sama (pernah) melakukan kesalahan. Keduanya juga sama-sama memiliki sisi bejat dan kelam.
Akan tetapi untuk Timnas, legitimasi
yang dimiliki PSSI adalah mutlak. Tawaran kerja sama dengan KPSI juga telah
dilayangkan. Tapi faktanya jelas, La Nyala lah yang menjadi begundal
sesungguhnya. Dari awal saya 100% mendukung Timnas Indonesia. Bukan soal PSSI
atau pun KPSI. Akan tetapi sebuah tim yang legal, sah, resmi dan yang mendapat
pengakuan dari FIFA yang akhirnya pantas disebut Tim Nasional Indonesia.
Hormat saya sepenuhnya saya tujukan
kepada seluruh punggawa Timnas saat ini, terutama Bambang Pamungkas dan kepala
pelatih Nil Maizar. Dengan tidak mengesampingkan peran punggawa lainnya, akan
tetapi dua sosok ini merupakan tokoh sentral dalam skuad Timnas saat ini. Bepe
dengan keberaniaannya bergabung dengan Timnas dibawah bayang-banyang sanksi
KPSI (yang nyatanya tidak terbutkti) dan Nil Maizar yang dengan keteguhannya
membangun Timnas dengan komposisi “seadanya”. Sungguh sebuah tindakan dan tekad
yang harus kita apresiasi.
Pada akhirnya, lewat tulisan ini
lagi-lagi saya hanya bisa melayangkan doa. Doa yang benar-benar tulus dari
dalam hati, semoga seluruh pemain dalam skuad garuda nanti dapat bermain
maksimal. Tolong sejenak lupakan berbagai kemelut di persepak bolaan negeri
ini. Cobalah fokus bertanding. Kalian mewakili kami, 240 juta rakyat Indonesia
yang saya yakin sebagian besar masih memiliki cinta dan harapan akan torehan
prestasi dari kalian. Bertarunglah sebagai wakil kami, bukan lagi oknum di
PSSI, politisi apalagi KPSI.
Selamat bertanding skuad garuda, doa
dan harapan terbaik akan selalu kami tujukan untuk kalian disana.